Suatu hari, Ayah saya berkata, "Mbok coba sesekali pakai Bahasa Jawa Krama di rumah. Jangan mentang-mentang belajar Bahasa Inggris sama Prancis terus lupa sama bahasa sendiri,"
Nggg. Saya hanya terdiam. Meskipun dalam hati membenarkan juga sih. Eh, iya ya?
Saya memang berasal dari keluarga Jawa, tulen. Ayah saya dibesarkan dalam kultur Jawa yang masih memegang teguh budaya dan kebiasaan. Sedangkan, Ibu saya, lebih modern sih, karena tinggal di pinggiran Kota Jogja. Di rumah, kami terbiasa berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia yang dicampur dengan Bahasa Jawa. Entah Bahasa Jawa tingkat Madya atau malah Ngoko. Jarang sekali menggunakan Bahasa Krama. Sesuatu yang—padahal kalau sekarang ya lumrah aja sih—tidak biasa, apalagi dalam kultur masyarakat Jawa.
Sejak TK, saya sudah diperkenalkan dengan Bahasa Inggris. Tak tanggung-tanggung, saya juga rajin mengikuti kursus Bahasa Inggris di sebuah lembaga, yang terletak di daerah Kotabaru. Kegiatan mengisi keseloan ini berlangsung dari kelas 3 SD sampai 11 SMA. Ya ampun, gimana saya nggak khatam berbahasa Inggris? Sayangnya, hanya belum memiliki score TOEFL atau IELTS aja sih. Ntar aja ah kalau udah mau lulus!
Saat SMA, saya mendapat pelajaran Bahasa Jepang. Suatu yang baru lagi, pikir saya. Hanya dalam waktu singkat saja, saya sudah fasih mengucapkan "Ohayou gozaimasu" "Konnichiwa" "Genki desuka?" atau "Arigatou gozaimasu". Ya udah, gitu aja. Nonton Detektif Conan masih butuh subtitle kok. Btw, Sinichi Kudou kenapa ganteng banget sih? #gagalfokus
Ketika kuliah pun, saya memilih jurusan yang tidak biasa. Sastra Prancis. Sebuah kenekatan mengingat saya sama sekali tidak memiliki dasar berbahasa Prancis yang baik dan benar. Semester satu adalah perjuangan yang cukup berat. Berat banget karena harus bisa mengucapkan /r/ yang terdengar seperti orang mau berdahak namun beraksen Paris. Ditambah lagi, harus bisa mengucapkan /u/ yang bikin bibir monyong seketika. Belum lagi ketika dilanda kebingungan karena harus terbiasa menggunakan kata benda berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Hadeh.
Usaha nggak pernah mengkhianati hasil ya. Sekarang? Saya sudah bisa tertawa lepas nonton Le Petit Nicholas. Bahkan, udah baper dan nangis juga ketika nonton La Famille Belier. Tanpa subtitle. Suatu pencapaian, yang menurut saya, luar biasa. Cepet juga adaptasinya.
Saya juga cukup berbangga hati karena kini sudah memiliki sertifikasi Bahasa Prancis. Memang sih, baru level standar dan masih harus ditingkatkan lagi. Tapi, setidaknya, kalau besok ke Prancis, udah bisa bilang "Café au lait, si'l vous plaît!". Btw, sertifikasinya berlaku seumur hidup lho!
Saya juga cukup berbangga hati karena kini sudah memiliki sertifikasi Bahasa Prancis. Memang sih, baru level standar dan masih harus ditingkatkan lagi. Tapi, setidaknya, kalau besok ke Prancis, udah bisa bilang "Café au lait, si'l vous plaît!". Btw, sertifikasinya berlaku seumur hidup lho!
Selama kuliah, saya juga iseng belajar Bahasa Spanyol. Duh, tapi mumet ndase! Karena masih dalam satu rumpun Bahasa Roman, saya suka keceplosan menuturkan kata Bahasa Spanyol tapi dengan pengucapan Bahasa Prancis. Nah lho! Susah juga ya. Alhasil setelah setahun belajar, saya hanya fasih mengucapkan "Buenos dias" dan "Gracias". Hehe. Lha wong ujian lisan aja mesti mikir lama dulu sebelum jawab pertanyaan Bu Chica! Ah, tapi saya jadi makin tertarik belajar Bahasa Spanyol. Siapa tau dapet sertifikasi (lagi). Lumayan buat menuh-menuhin CV!
Kenapa saya belajar begitu banyak bahasa asing? Ya, mbuh, suka aja. Dua kali menjalani tes psikologi, kemampuan berbahasa saya selalu dinilai di atas rata-rata. Bagi saya, orang yang fasih berbagai bahasa itu keren banget! Mau jalan-jalan ke mana, pasti bisa hidup kok.
Coba deh, bayangkan, ketika lagi di negara Polinesia—yang notabene bekas kolonial Prancis—tapi nggak bisa bahasa Prancis? Atau mungkin ke Amerika Latin, tapi nggak bisa bahasa Spanyol? Bisa hidup? Ya, bisa-bisa aja sih, tapi mungkin nanti bakal kesusahan kalau mau cari makan atau hanya sekadar menanyakan arah menuju KBRI. Beban hidup jadi terasa makin berat ketika mayoritas penduduk di sana tidak bisa berbahasa Inggris.
Kok nggaya banget pakai bahasa asing? Lha ini, saya tulis tulisan ini pakai bahasa apa? Hayooo. Hanya saja, sayangnya, bahasa Indonesia masih belum memiliki standar tertentu. Kan jadi nggak tahu, apakah bahasa Indonesiaku sudah baik dan benar sesuai kaidah PUEBI atau belum? Padahal banyak orang asing, bela-belain ke Indonesia demi belajar segala hal yang berbau keindonesiaan lho!
Contohnya, seperti kedua temanku ini.
Contohnya, seperti kedua temanku ini.
"Saya suka Indonesia. Bahasa dan budayanya unik. Makanannya juga enak," kata Océan, partner tutor saya dari Université de La Rochelle, dengan Bahasa Indonesia yang terbata-bata. Lain waktu, saya bertemu gadis cantik asal Sydney, Australia. Namanya Vannesa. "Because of bilateral relations, Bahasa Indonesia is very important for Australian. Bahasa Indonesia has been thaught at school even in the university. And it is also a qualified to apply job. Besides, I like Indonesian culture," jawabnya mantap ketika ditanya kenapa belajar Bahasa Indonesia. Aih, jadi malu hati ini.
Lalu, bagaimana dengan Bahasa Jawa? Ya nggak gimana-gimana, masih saya pakai kok! Hanya saja, saya akui, saya jarang sekali menggunakan Bahasa Jawa Krama. Paling ya, hanya saat Lebaran aja ketika sungkem dengan sesepuh di desa. "Mbah, nganturaken sugeng riyadi. Nyuwun pangapunten sedaya kalepatan kula ingkang boten leres. Kula nyuwun pangestunipun nggih, Mbah, supados lancar kuliah lan diparingi jodoh ingkang sae manahipun,". Hehe kira-kira begitu lah ya.
Kadang-kadang, ketika harus menghadapi birokrasi yang ribet, saya gunakan Bahasa Jawa Krama sebagai alat komunikasi utama. Ya, walaupun kebanyakan ngomong "Inggih" doang sih. Tapi, entah, tiba-tiba saja lidah saya sudah diprogram untuk berbahasa Jawa Krama ketika bertemu orang lain yang lebih tua, yang saya segani, dan yang saya hormati. Duh, Bahasa Jawa ini patriarkis sekali sih!
FYI, waktu saya kuliah, saya juga kenal seorang mahasiswa asal Italia yang ternyata bisa berbahasa Jawa. Namanya Léondre. Saya akui, si Lélé ini dialeknya udah nggak kebule-bulean lho! Bahkan udah bisa misuh-misuh pakai bahasa Jawa. Wkwkwk. Meski begitu, saya salut banget sama dia karena semangat belajarnya besar banget!
FYI, waktu saya kuliah, saya juga kenal seorang mahasiswa asal Italia yang ternyata bisa berbahasa Jawa. Namanya Léondre. Saya akui, si Lélé ini dialeknya udah nggak kebule-bulean lho! Bahkan udah bisa misuh-misuh pakai bahasa Jawa. Wkwkwk. Meski begitu, saya salut banget sama dia karena semangat belajarnya besar banget!
Bagi saya, salah satu kebahagiaan terbesar—selain makan es krim—adalah berbicara Bahasa Jawa Ngoko full yang dibumbui dengan Bahasa Jawa Gaul nan Kasar dengan teman-teman saya. Kedekatan dan keakraban kami bahkan bisa diukur dengan seberapa sering kami menggunakan kata "ndes" atau "cuk" sebagai panggilan sayang. Rasanya lebih plong aja, gitu. Bebas, lepas, asal jangan kebablasan!
Belajar bahasa asing itu perlu. Bahkan memang sudah jadi suatu keharusan di dunia, mengingat di dunia ini semakin banyak tuntutan dan kualifikasi. Meski begitu, jangan sampai melupakasan siapa diri kita ya! Mentang-mentang fasih dan cas cis cus berbahasa Inggris, terus malah malu berbahasa daerah karena dianggap ndeso? Ewwwwh!
Akhirnya, saya bantah juga pernyataan Ayah saya tadi. "Halah, wong ya tiap hari pake Bahasa Indonesia sama Bahasa Jawa, to? Bahasa Inggris sama Prancisnya dipake di luar rumah wae,".
Akhirnya, saya bantah juga pernyataan Ayah saya tadi. "Halah, wong ya tiap hari pake Bahasa Indonesia sama Bahasa Jawa, to? Bahasa Inggris sama Prancisnya dipake di luar rumah wae,".
Wis jan, pancen anak ra tau unggah-ungguh tenan. Karo wong tuwane dhewe kok nganggo basa ngoko!
Post a Comment