Pict by: Typepad |
Sinar kejinggaan telah nampak ketika aku membuka jendela kamarku. Udara segar pun menyapu wajahku. Tak lupa, pagiku juga disapa oleh pohon-pohon yang berjajar rapi di di taman, di seberang jendela kamarku.
Ah, rupanya aku sudah kesiangan. Tak lagi sempat menikmati suasana dua pertiga malam yang selalu kurindukan.
Bergegas, kuambil air wudhu di keran air di samping taman. Segar, dingin. Cukuplah untuk membuat kedua mataku melek. Lalu, kupenuhi dua rakaat. Memohon kepadanya agar diri ini senantiasa bersyukur dan dimudahkan dalam berbagai urusan. Tak lupa mendoakan segala kebaikan, bagi diriku sendiri, bagi kedua orangtuaku, adikku, saudara-saudaraku, teman-temanku, dan juga orang-orang baik di sekitarku.
Entah mengapa, pagi itu terasa syahdu. Meski mentari tengah tersenyum, memamerkan jubah kekuningannya, hati ini masih saja merasa sendu.
Sendu karena sedang merindu.
Terkadang aku berpikir, mengapa rindu ini begitu menyebalkan?
Bukankah rindu itu hanya perkara gampang? Hanya saja, ia seringkali menjadi rumit karena terus-menerus mengharapkan balasan.
Ya, begitulah manusia. Selalu berharap, kepada hal yang semu, lebih-lebih kepada ketidakpastian.
Post a Comment