Pict by: me |
Waktu akan menyembuhkan semua luka, namun duka tidak semudah itu bisa terobati oleh waktu. Dalam hal berurusan dengan duka, waktu justru sering menjadi penjahat kejam yang menyiksa tanpa ampun, ketika kita terus menemukan dan menyadari hal baru yang rindukan dari seseorang yang telah pergi itu, setiap hari, setiap jam, setiap menit. (hlm. 95)
Dalam hidup, kita seringkali menjumpai sebuah pertemuan. Dari pertemuan itulah, kemudian terajut cerita-cerita yang akan menjadi kenangan tersendiri bagi siapa saja yang menjalaninya. Entah pahit atau manis, kenangan itu akan selalu terukir dalam renungan kehidupan kita.
Dipertemukan dalam suatu perjalanan Jakarta-Sydney, Anya dan Ale pun berkenalan. Selama tiga menit pertama, Anya terpikat dengan pesona Ale, saling berbagi cerita dan tawa, hingga delapan menit sebelum berpisah, Anya sudah memiliki kesan tersendiri kepada Ale.
Sebagaimana judulnya, Critical Eleven, pertemuan itu ibarat waktu sebelas menit paling kritis di dalam pesawat. Pada tiga menit pertama, inilah momen paling 'kritis' bagaimana seseorang dapat memberikan kesan pertama terhadap orang yang ditemuinya. Apakah itu kesan yang menyenangkan sehingga orang tersebut bisa selalu berharap agar dapat menemuinya kembali. Atau mungkin malah kesan yang cukup pahit, sehingga jangankan bertemu, mengucap selamat tinggal pun ia merasa enggan.
Lalu, pada menit ke delapan, kesan itu pun semakin menguat tatkala tersungging sebuah senyuman, dibarengi oleh ekspresi wajah yang membuatnya susah untuk mengalihkan pandangan. Dan dari sinilah cerita itu bermula.
Sebagaimana judulnya, Critical Eleven, pertemuan itu ibarat waktu sebelas menit paling kritis di dalam pesawat. Pada tiga menit pertama, inilah momen paling 'kritis' bagaimana seseorang dapat memberikan kesan pertama terhadap orang yang ditemuinya. Apakah itu kesan yang menyenangkan sehingga orang tersebut bisa selalu berharap agar dapat menemuinya kembali. Atau mungkin malah kesan yang cukup pahit, sehingga jangankan bertemu, mengucap selamat tinggal pun ia merasa enggan.
Lalu, pada menit ke delapan, kesan itu pun semakin menguat tatkala tersungging sebuah senyuman, dibarengi oleh ekspresi wajah yang membuatnya susah untuk mengalihkan pandangan. Dan dari sinilah cerita itu bermula.
Pertama kali melihat Critical Eleven di toko buku, saya pikir buku ini justru bercerita mengenai seluk-beluk dunia penerbangan. Apalagi pada sampul depannya, yang berwarna biru, tergambar sebuah pesawat terbang berwarna kelabu, seolah ia siap terbang ke mana saja, membawa pembaca menjelajahi angkasa. Pembatas bukunya juga dibuat menyerupai boarding pass, dengan nama Aldebaran Risjad/Mr dan Tanya Baskoro/Mrs di bagian depan. Namun, ternyata anggapan saya salah besar. Malahan saya rasa, sampul depan dan isinya tidak memiliki kecocokan sama sekali.
Sebenarnya, cerita dalam novel ini sederhana saja, yaitu tentang kisah sepasang suami istri bernama Ale dan Anya. Akan tetapi, Ika Natassa mampu membuat cerita ini terkesan dramatis, sebab tidak hanya sekali dua kali saja saya meneteskan air mata, ikut larut dalam emosi yang digambarkan oleh kedua tokoh utama tersebut. Saya pun sempat mengagumi sosok Ale yang digambarkan begitu 'sempurna'. Begitu baik, perhatian, romantis dan sangat mencintai istrinya. Namun, lagi-lagi ini hanyalah buku fiksi, rekaan. Dan saya rasa, sosok Ale tidak akan pernah bisa ditemui di dunia nyata. Meskipun saya tak menafikan bahwa sosok Ale juga saya idam-idamkan di dalam hati.
Bagi saya, membaca novel ini mengajarkan saya arti sebuah kehilangan. Kehilangan seseorang yang paling dicintai tentu akan menyedihkan. Bahkan tidak jarang membuat kita merasa menjadi orang paling malang di dunia, lalu mengutuki nasib sendiri. Dalam pernikahannya yang sudah menginjak tahun kelima, Ale dan Anya harus mengalami kenyataan pahit, yang membuat hidup mereka berubah. Mereka harus menerima kehilangan sang buah hati yang paling mereka cintai. Padahal di saat yang sama, mereka juga sangat menantikan kelahirannya.
Ketika mengalami kepahitan, biasanya sepasang suami istri akan menghadapinya bersama-sama, saling mendukung dan menguatkan satu sama lain. Akan tetapi, hal ini sepertinya tidak ingin digambarkan oleh Ika Natassa. Hanya karena suatu kalimat 'sepele', yang bahkan mungkin tidak pernah tercetus di dalam hati, Ale dan Anya harus bertahan dengan egonya masing-masing. Mereka juga saling diam dan mendiamkan. Hingga akhirnya, mereka harus terbiasa, atau bisa dikatakan terpaksa, hidup 'sendiri-sendiri' meskipun berada di dalam atap yang sama. Namun, tentu saja hal itu tidak berlangsung lama.
Dengan menggunakan sudut pandang Ale dan Anya secara bergantian, kedua tokoh ini memang digambarkan sebagai sosok yang sempurna. Aldebaran Risjad atau Ale, seorang petroleum engineer yang lebih banyak menghabiskan waktunya di Teluk Meksiko. Lima minggu di tengah lautan dan lima minggu setelahnya ia habiskan untuk kembali ke Jakarta, menjadi pendamping istri tercintanya, Anya.
Bisa dikatakan, kehidupan Ale sangat sepi. Jauh dari orang-orang yang dicintainya membuat dirinya selalu dilanda kerinduan. Sedangkan, Tanya Laetitia Baskoro atau Anya digambarkan sebagai sosok wanita karier dengan jam terbang yang cukup padat. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk kerja, presentasi, dan lembur. Dan begitu terus yang terjadi setiap hari.
Bisa dikatakan, kehidupan Ale sangat sepi. Jauh dari orang-orang yang dicintainya membuat dirinya selalu dilanda kerinduan. Sedangkan, Tanya Laetitia Baskoro atau Anya digambarkan sebagai sosok wanita karier dengan jam terbang yang cukup padat. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk kerja, presentasi, dan lembur. Dan begitu terus yang terjadi setiap hari.
Kisah ini, bagi saya, terasa unik karena menonjolkan kehidupan orang-orang kalangan atas di daerah metropolitan. Sehingga, tak mengherankan jika banyak novel ini banyak menggunakan ungkapan berbahasa Inggris sebagaimana kehidupan orang-orang tersebut yang selalu bersinggungan dengan bahasa asing. Meskipun demikian, saya tidak menemui kesulitan untuk memahami kalimat-kalimat tersebut. Bagi yang belum terbiasa dengan kalimat-kalimat berbahasa Inggris, saya sarankan untuk membuka kamus ketika membacanya. Ya, lumayan lah bisa menambah kosakata.
Selain itu, Ika Natassa juga sangat detail dalam membangun cerita. Bahkan tidak jarang, ia menggunakan pembelajaran ilmu psikologi, kopi bahkan mengenai ilmu manajemen. Salah satu contohnya adalah soal ‘Amygdala’ dan ‘Hippocampus’ dalam otak. Tentunya, dengan penggambaran demikian, novel ini menjadi lebih hidup dan tidak terlalu menye-menye.
Oya, ngomong-ngomong film Critical Eleven ini bakal tayang lho! Rencananya sih tanggal 10 Mei besok ya. Hmmm saya udah tidak sabar ingin segera menontonnya. Kira-kira cerita di film ini akan sama persis seperti bukunya nggak ya?
Post a Comment