”Ia dibawa ke kota. Tubuhnya dibalut kain dan kebaya yang tak pernah diimpikannya bakal punya. Selembar kalung emas tipis sekarang menghias lehernya dan berbentuk medalion ber-bentuk jantung dari emas, membuat kalung itu manis tertarik ke bawah. Kemarin malam ia telah dinikahkan. Dinikahkan dengan sebilah keris. Detik itu ia tahu: kini ia bukan anak bapaknya lagi. Ia bukan anak emaknya lagi. Kini ia istri sebilah keris, wakil seseorang yang tak pernah dilihatnya seumur hidup.” (Gadis Pantai oleh Pramoedya Ananta Toer, halaman 5)
Kali ini biarkan aku bercerita tentang sebuah kisah. Kisah tentang seorang gadis empat belas tahun yang hidup dalam belenggu kemiskinan—dan mungkin juga kebodohan—di Rembang, Jawa Tengah. Gadis itu hanyalah anak dari pasangan nelayan miskin, yang sehari-harinya harus memutar otak agar dapat bertahan hidup. Bisa kubilang, keluarga gadis hidup sangat sederhana, apa adanya, bahkan mungkin memimpikan hal yang indah-indah saja tak pernah. Takut terlena, katanya. Untuk makan saja susah, kenapa mesti memimpikan hal-hal yang tidak akan pernah didapat? Pepatah bilang, bagai pungguk merindukan bulan, memimpikan hal-hal yang tidak pasti dan tidak mungkin terjadi.
Ah, masa bodoh lah dengan mimpi dan segala tetek bengeknya.
Tapi, mungkin gadis itu pernah bermimpi, bagaimana rasanya menjadi orang-orang kota? Apakah mereka lebih bermartabat? Lebih pintar, sebab pendidikannya? Lebih kaya dengan harta yang melipah di sekelilingnya? Dan apakah mereka bahagia?
Suatu hari, setelah terbangun dari mimpinya, gadis itu diajak kedua orang tuanya ke kota. Wah, ternyata mimpiku jadi kenyataan. Sebab, sebentar lagi aku akan melihat dunia! Mungkin itulah yang dirasakan gadis itu. Dengan sedikit harapan, ia pun menurut saja hendak ke mana orang tuanya pergi. Ia bahkan tidak mengerti mengapa ada banyak hulubalang menjemput dia dan kedua orang tuanya. Ia semakin tidak mengerti mengapa tiba-tiba ia disandingkan dengan sebilah keris, dan oleh bapaknya, keris itu dijadikan 'pegangan' supaya kelak dia menjadi orang kaya yang beruntung. Dan senantiasa diberkahi oleh Yang Maha Kuasa.
Kereta kencana yang ditumpanginya, mendadak berhenti, di depan sebuah rumah. Gadis itu kagum dengan penampakan rumah itu, jauh berbeda dengan rumahnya yang ada di kampung. Padahal rumah itu biasa-biasa saja, seperti rumah-rumah lain yang ada di perkotaan. Gadis itu bergegas turun dari kereta kencana, sementara orang tuanya tengah sibuk menceramahinya tentang pernikahan, tentang kemewahan, dan tentu saja tentang arti hidup.
Tiba-tiba saja, gadis itu masuk ke dalam rumah, dan itulah terakhir kalinya ia melihat wajah kedua orang tuanya. Bahkan ia tidak sempat mengucapkan kata perpisahan! Selayaknya, orang-orang yang tidak akan berjumpa lagi di kemudian hari.
Di rumah itu, ia disambut dengan kemewahan. Ia juga diajari berbagai macam hal, seperti mengaji dan salat. Kedua hal itu tidak pernah ia lakukan selama di rumah. Lagi pula, untuk apa ia harus mengaji dan salat? Toh, kedua hal tersebut tidak membuat hidupnya jadi lebih baik. Apalagi membuatnya bahagia.
Namun, di tengah kemewahan dan kemapanan yang menyelimutinya, ia merasa tidak bahagia. Suaminya—yang baru ia ketahui dari pelayannya—selalu sibuk dengan urusannya sendiri. Ia hanya mendatangi si gadis ketika nafsu telah menggebu di dadanya. Setelah itu, ia pergi lagi, kembali sibuk dengan urusannya yang sepertinya tak pernah usai. Gadis itu merasa kesepian, sebab ia tak memiliki teman bicara. Dan bagaimana mungkin ia bicara dengan orang lain jika bertanya pun tidak diperbolehkan? Yang ia tahu—dari pelayannya—ia hanya boleh diam dan harus menjaga rumah tangga. Sebab, apapun yang menyangkut kehormatan suaminya adalah hal yang tabu.
Suatu hari, ia mengandung. Dan seperti perempuan lain yang tengah mengandung, ia ngidam, ingin diperhatikan oleh suaminya. Di kampungnya dulu, ia sering melihat seorang suami yang tengah menjaga istrinya yang sedang mengandung. Betapa bahagianya istri itu, gumamnya, sebab ia merasa cukup dengan kasih sayang, meski kehidupannya tidak lebih baik daripada kehidupannya di perkotaan. Namun ia hanya bisa menelan kekecewaan, sebab suaminya makin saja sibuk, bersikap acuh tak acuh dan tak peduli kepadanya, seolah dirinya hanyalah barang yang teronggok begitu saja di rumahnya.
Yang menyedihkan dari kisah ini adalah gadis itu terpaksa harus berpisah dengan bayi yang baru beberapa jam lalu ia lahirkan. Padahal gadis itu berharap bayi itu akan menjadi teman hidupnya, ketika dunianya terlampau sering dilanda sepi. Bahkan, suaminya dengan tega mencampakkannya, seolah-olah ia makhluk hina yang akan membawa kesialan bagi rumah itu, seolah-olah ia sampah yang akan mengotori rumah itu. Ingin rasanya ia menjerit, dosa apakah aku hingga kau perlakukan sekeji ini, tetapi ia hanyalah seorang perempuan. Perempuan yang lemah dan tak berkuasa.
Tanpa dendam dan juga tangisan, ia pun bergegas meninggalkan rumah itu, bersiap menghadapi jalanan bebatuan yang sebentar lagi akan ia lalui.
Kisah ini seharusnya bakal berakhir bahagia, bak kisah-kisah dari negeri dongeng, tetapi kisah ini harus berhenti di tengah jalan. Sementara pembaca hanya bisa menerka-nerka, bagaimana nasib gadis itu?
Entahlah. Mungkin hanya Tuhan yang tahu, sebab bukankah Ia yang menentukan nasib manusia?
Post a Comment