Saya belum menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan novel ini. Saya hanya tahu bahwa saya cukup belajar satu hal darinya, yaitu kepercayaan. Saya tidak tahu persis apa yang dipikirkan Ghyna Amanda ketika menulis, tetapi saya yakin novel ini lahir dari sebuah rasa percaya. Percaya bahwa orang-orang bisa saja berubah, percaya bahwa orang-orang bisa saja berkhianat sekaligus juga percaya bahwa tidak semua orang adalah jahat.
Novel ini sebenarnya menceritakan kehidupan Katheljin Sophie Kuhlan yang sedari kecil diiming-imingi cerita dongeng. Ia berharap, kelak akan ada pangeran berkuda putih yang akan membawanya ke negeri dongeng. Namun, harapan boleh saja pupus. Sophie, panggilan gadis itu, tidak pernah bertemu dengan pangeran pujaannya. Justru, ia dihadapkan pada banyak kemalangan.
Ayahnya tiba-tiba saja meninggal, tanpa satu orang pun keluarganya tahu apa penyebabnya. Kematian ayah yang amat disayanginya ini pun segera saja menghapuskan impiannya pada negeri dongeng. Sehingga, sang putri—mau tidak mau—dihantui ketakutan akan berbagai ancaman yang membahayakan keselamatannya. Mungkin, karena itulah ia tidak diizinkan keluar istana, apalagi untuk melihat dunia luar. Sehingga, sehari-harinya, putri itu sibuk mengurung dirinya dengan buku-buku peninggalan mendiang ayah dan leluhurnya.
Kemalangan rupanya masih ingin hinggap di kehidupan Sophie. Beberapa waktu sesudahnya, karena kebakaran hebat, ibunya terpaksa meninggalkan dirinya seorang diri. Dengan warisan sebuah dam, rumah, beberapa dokumen, dan uang warisan yang entah berapa jumlahnya. Kini, tinggal lah Sophie sendiri, sebatang kara, tanpa keluarga, hanya ditemani oleh pelayan-pelayannya yang dianggapnya setia. Oh ya, jangan lupa, kesepian juga sudah menjadi sahabat karibnya.
Jika novel ini adalah dongeng, tentu penulis akan membiarkan sang putri bahagia di akhir cerita seperti dongeng-dongeng picisan lainnya. Hanya saja, Ghyna Amanda tidak ingin novelnya berakhir secara monoton. Hingga akhir, sang putri tetap saja merasa sendiri. Meskipun—kita tahu—kesendirian tidak selalu membuat orang sengsara dan bersedih hati.
Tapi, menurut saya, novel ini juga tidak terlalu menyedihkan jika dibaca oleh para penggemar cerita cinta-cintaan. Ghyna Amanda tetap membiarkan Sophie bahagia dengan pilihannya. Andjana, nama lelaki itu, seorang pria yang ternyata sudah dikaguminya bertahun-tahun, menjadi alasan mengapa Sophie masih bertahan. Saya sendiri tidak sanggup membayangkan bagaimana pedihnya kehidupan Sophie tanpa teman, tanpa keluarga apalagi sanak saudara. Dan tiba-tiba saja ia dihadapkan pada sebuah pilihan.
Saya percaya, Sophie bukan gadis yang lemah. Sophie juga tahu kalau hidupnya tetap akan ditemani oleh kesendirian, tetapi ia berani memutuskan keluar dari istana dan menyerahkan dirinya pada seorang asing. Andjana, pria itu, memang bukan sanak saudaranya. Bukan pula bangsanya. Lelaki itu hanya tampak baik saja. Tampangnya, boleh lah dibilang tampan walaupun usianya mungkin sudah menginjak dekade keempat. Meskipun begitu, Sophie percaya bahwa Andjana dapat dipercaya dan tidak mungkin berkhianat. Toh, pria itu juga lah yang dikaguminya selama bertahun-tahun, yang dipercayainya sebagai seorang pangeran berkuda putih, yang akan menyelamatkannya dari belenggu kesepian.
Baca juga: Perjalanan Raden Mandasia Mencuri Daging Sapi
Baca juga: Perjalanan Raden Mandasia Mencuri Daging Sapi
Sekali lagi, novel ini bukan tipikal novel roman picisan. Meski sudah menikah, tetapi kehidupan Sophie dan Andjana tidak berubah. Yang berubah hanyalah status, dari Belanda menjadi pribumi, dan harta warisan sebab sebuah perjanjian. Lagi pula, Sophie cukup tahu diri bahwa ia mungkin tidak bisa mendapatkan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Sebaliknya, Andjana juga tidak berharap lebih dari gadis itu, toh pernikahan itu hanya sebuah perjanjian. Perjanjian yang akan membawanya pada sebuah cita-cita mulia; mendirikan klinik pengobatan.
Pembaca boleh saja menerka-nerka apa yang terjadi dengan Sophie dan Andjana dan bagaimana akhir dari perjanjian itu. Namun satu yang pasti, pembaca harus percaya bahwa ini hanyalah sebuah cerita dalam novel, yang bisa saja merupakan bualan belaka atau justru merupakan gambaran realitas hidup yang penuh dengan kepalsuan.
Post a Comment