Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak Pict by: id.bookshow |
Kalau kau menonton film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, pasti kau tahu siapa itu Marlina dan masalah apa yang sedang menimpanya. Bagi saya, film besutan Mouly Surya ini memang luar biasa bagusnya. Meski sudah beberapa bulan berlalu sejak booming-nya, film yang tayang perdana di ajang La Quinzane des réalisateurs Festival Film Cannes 2017 ini selalu menarik untuk dibahas.
Film yang mengambil latar di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT) ini bercerita tentang seorang janda bernama Marlina yang sedang berkabung karena ditinggal mati oleh suaminya. Karena tidak memiliki biaya pemakaman, jasad suaminya hanya mampu dijadikan mumi yang dibaringkan di ruang tamu rumahnya.
Suatu hari, Marlina kedatangan tamu. Markus, tamu itu, bermaksud menagih utang peninggalan almarhum suaminya. Melihat Marlina yang tinggal sendirian, timbul niat jahat dan biadab dalam diri Markus. Tidak hanya merampok harta dan hewan ternaknya saja, Markus juga ingin menyetubuhi Marlina bersama dengan keenam kawannya. Hidup sendirian tanpa sanak keluarga, apalagi rumah pun jauh dari tetangga, Marlina segera mencari akal untuk menghindarkan dirinya dari upaya penghinaan yang dilakukan Markus bersama komplotannya. Hingga akhirnya Marlina memutuskan untuk meracuni kawan-kawan Markus, sedangkan Markus sendiri berhasil ia penggal kepalanya.
Perjalanan Marlina tentu saja belum selesai. Merasa butuh keadilan, Marlina rela menempuh jarak yang sangat jauh untuk melaporkan kejadian yang baru saja ia alami ke kantor polisi di Sumba. Sayangnya, Marlina harus menelan kekecewaan lantaran laporannya hanya dianggap ‘sebelah mata’. Pun Marlina harus menghadapi Franz, salah satu komplotan Markus, yang ingin balas dendam atas kematian bosnya.
Semua penonton tahu bahwa Marlina adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya. Namun karena tidak memiliki biaya pemakaman, jasad suaminya hanya mampu didudukkan di pojok ruang tamu. Kematian suaminya ini ternyata meninggalkan utang yang harus ia tebus.
Marlina tidak punya uang, sehingga secara sepihak Markus menyuruh anak buahnya untuk mengambil semua ternak Marlina. Tapi bagi Markus, menjarah ternak saja tak cukup. Ia juga ingin menggauli Marlina dengan keenam temannya.
Dengan entengnya dia bilang, ”Malam ini, kau adalah perempuan yang paling beruntung,” kepada Marlina yang terlihat pucat. Tentu saja, siapapun pasti merasa takut jika disudutkan seperti itu kan? Tapi, ketakutan Marlina mungkin hanya sesaat saja karena ucapan Markus langsung dibalas dengan ”Saya perempuan paling sial sesudah malam ini,”. Saya yakin, Markus terkesan dengan jawaban Marlina, sehingga ia pun berusaha menyangkalnya dengan ucapan “Kau perempuan, sukanya menjadi korban,”. Kalimat tersebut memang luar biasa seksisnya, tapi mungkin bisa jadi awal ketidakberdayaan Markus menghadapi Marlina.
Menurut pemaparan Thornhill dan Craig T. Palmer dalam A Natural History of Rape, dialog yang terjadi antara Marlina dan Markus adalah representasi kepedihan yang dialami korban pemerkosaan. Bagi perempuan yang menjadi korban, pemerkosaan adalah kejahatan luar biasa yang setara dengan pembunuhan. Sedangkan dari sisi laki-laki, tidak sedikit yang menilai bahwa perempuan korban perkosaan juga menikmati perkosaan tersebut, sehingga apa yang dilakukan Markus dkk dianggap bukan sebuah kejahatan. B aja lah ya wong sama-sama enak, mungkin begitu anggapannya.
Makanya, tidak mengherankan kalau Markus bisa dengan entengnya berkata “Berapa laki-laki yang sudah kau tiduri?”, seolah-olah pemerkosaan itu justru dianggap berkah bagi kehidupan seks Marlina.
Ketika Marlina bermaksud melaporkan kejadian perampokan sekaligus pemerkosaan yang baru saja ia alami di kantor polisi, bukan perlindungan dan keadilan yang ia dapatkan. Polisi malah sibuk mencari bukti apakah Marlina betul-betul diperkosa atau tidak. Ia juga keukeuh menyuruh Marlina melakukan visum, meski alatnya baru tiba di Sumba sebulan kemudian. Parahnya, polisi itu bisa dengan santainya bertanya “Mengapa mau diperkosa orang tua?” yang secara implisit menunjukkan bahwa ia mengabaikan pengalaman korban.
Marlina tidak punya uang, sehingga secara sepihak Markus menyuruh anak buahnya untuk mengambil semua ternak Marlina. Tapi bagi Markus, menjarah ternak saja tak cukup. Ia juga ingin menggauli Marlina dengan keenam temannya.
Dengan entengnya dia bilang, ”Malam ini, kau adalah perempuan yang paling beruntung,” kepada Marlina yang terlihat pucat. Tentu saja, siapapun pasti merasa takut jika disudutkan seperti itu kan? Tapi, ketakutan Marlina mungkin hanya sesaat saja karena ucapan Markus langsung dibalas dengan ”Saya perempuan paling sial sesudah malam ini,”. Saya yakin, Markus terkesan dengan jawaban Marlina, sehingga ia pun berusaha menyangkalnya dengan ucapan “Kau perempuan, sukanya menjadi korban,”. Kalimat tersebut memang luar biasa seksisnya, tapi mungkin bisa jadi awal ketidakberdayaan Markus menghadapi Marlina.
Menurut pemaparan Thornhill dan Craig T. Palmer dalam A Natural History of Rape, dialog yang terjadi antara Marlina dan Markus adalah representasi kepedihan yang dialami korban pemerkosaan. Bagi perempuan yang menjadi korban, pemerkosaan adalah kejahatan luar biasa yang setara dengan pembunuhan. Sedangkan dari sisi laki-laki, tidak sedikit yang menilai bahwa perempuan korban perkosaan juga menikmati perkosaan tersebut, sehingga apa yang dilakukan Markus dkk dianggap bukan sebuah kejahatan. B aja lah ya wong sama-sama enak, mungkin begitu anggapannya.
Makanya, tidak mengherankan kalau Markus bisa dengan entengnya berkata “Berapa laki-laki yang sudah kau tiduri?”, seolah-olah pemerkosaan itu justru dianggap berkah bagi kehidupan seks Marlina.
Ketika Marlina bermaksud melaporkan kejadian perampokan sekaligus pemerkosaan yang baru saja ia alami di kantor polisi, bukan perlindungan dan keadilan yang ia dapatkan. Polisi malah sibuk mencari bukti apakah Marlina betul-betul diperkosa atau tidak. Ia juga keukeuh menyuruh Marlina melakukan visum, meski alatnya baru tiba di Sumba sebulan kemudian. Parahnya, polisi itu bisa dengan santainya bertanya “Mengapa mau diperkosa orang tua?” yang secara implisit menunjukkan bahwa ia mengabaikan pengalaman korban.
Resistensi sebagai Reaksi
Balas Dendam Ala Marlina
Bicara soal seksualitas, tentu tidak bisa lepas dari wacana kekuasaan. Seks tidak hanya terbatas pada masalah sensasi atau kenikmatan, adanya hukuman atau larangan, tapi juga soal masalah benar atau salah. Anggapan benar atau salah inilah yang membuka peluang munculnya dominasi dalam interaksi sosial. Dan hal ini sesuai dengan pernyataan Michel Foucault, di mana ada sebuah relasi maka di sana juga akan ada kekuasaan.
Tapi Foucault rupanya paham bahwa kekuasaan tidak mungkin berlangsung selamanya. Alih-alih melahirkan kepatuhan, kekuasaan justru melahirkan resistensi. Tidak ada kuasa yang bebas dari oposisi, sebab di manapun ada kuasa pasti dengan sendirinya akan muncul peluang terjadinya resistensi terhadap kekuasaan tersebut.
Dalam kajian feminisme, resistensi diartikan sebagai bentuk perlawanan untuk keluar dari kondisi nyata yang terjadi. Perempuan akan secara sadar melakukan resistensi atau penolakan terhadap dominasi-dominasi patriarki yang diwujudkan melalui tindakan maupun pemikiran. Salah satu contohnya adalah 'balas dendam' yang dilakukan Marlina.
Dalam berbagai budaya di dunia, aksi Marlina yang menenteng kepala Markus ketika menempuh perjalanan ke kantor polisi memang dianggap tidak lazim. Lebih-lebih jika yang menenteng adalah seorang perempuan. Namun sebenarnya, aksi Marlina ini adalah bentuk resistensi perempuan yang sedang berusaha melawan dominasi patriaki di sekitarnya. Lihat saja ketika Marlina menumpang angkutan menuju Sumba, para penumpang laki-laki malah lari ketakutan melihat kepala Markus yang ditentengnya. Melihat orang menenteng kepala saja sudah mengerikan, apalagi membayangkan bagaimana kepala itu bisa dijadikan tentengan.
Pembalasan yang dilakukan Marlina ini tidak hanya ditujukan kepada pemerkosanya saja, melainkan juga bagi pemerintah. Pada film tersebut terlihat bahwa Marlina harus menunggu lama untuk melaporkan perampokan dan pemerkosaan yang baru saja dialaminya. Sementara polisi yang bersangkutan malah asyik bermain tenis meja. Bukan cuma persoalan birokrasi yang njlimet, film ini juga menunjukkan kepada penonton bahwa masih minimnya fasilitas hukum serta tidak adanya distribusi keadilan yang merata bagi warga negara. Padahal kepolisian sebagai penegak hukum adalah institusi yang bertugas melindungi dan mengayomi masyarakat.
Di sisi lain, Marlina masih harus menghadapi dua orang anggota gerombolan Markus yang masih mengejar-ngejar dirinya untuk balas dendam. Seperti tidak memiliki waktu untuk berkeluh kesah dengan kerumitan birokrasi, sementara masih ada dua komplotan perampok yang masih mengincar nyawanya, Marlina pun memutuskan untuk bergantung dengan tangannya sendiri. Di akhir cerita, ketika Marlina hendak diperkosa oleh Franz, Novi dengan berani, mendobrak pintu kamar dan segera memenggal kepala Franz untuk menyelamatkan Marlina.
Bagi saya, film ini memang 'mengena' sekali dan wajib dijadikan tontonan. Sebab, kau akan paham betapa balas dendam seorang perempuan itu bisa jadi lebih kejam dari apa yang kau perbuat.
Post a Comment