dok. pribadi |
Meski judulnya adalah Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi, sesungguhnya ini bukanlah dongeng tentangnya. Adalah Sungu Lembu, yang menjadi tokoh utama—dan aku heran kenapa dia gemar sekali mengumpat "anjing"—akan membawamu berpetualang.
Petualangan dimulai ketika Sungu Lembu dan Raden Mandasia tengah dikejar sekelompok prajurit karena ketahuan mencuri daging sapi. Dalam hati, ia kesal dan turut menyumpah-nyumpah. Kenapa ia ikut mencuri daging sapi bersama Si Raden bahkan ikut menikmati dagingnya meskipun akhirnya ia babak belur dan hampir tuli?
Namun, dari situlah kisah bermula dan bagaimana awal pertemuannya dengan Raden Mandasia di Rumah Nyai Manggis.
Sebagai penikmat buku yang berlatar sejarah, buku ini wajib dan harus dibaca. Ibarat juru masak di sebuah rumah makan, Yusi Avianto Pareanom memang pandai sekali meracik bumbu. Kisahnya juga tak melulu tentang peperangan dan balas dendam saja, tetapi juga petualangan panjang yang dikemas dengan kekayaan.
Kekayaan sumpah serapah? Jelas, tapi aku tidak merasa bahwa umpatan itu kasar. Malah aku tersenyum-senyum sendiri ketika Sungu Lumbu dengan entengnya mengumpat "anjing", "babi" bahkan "tapir buntung". Sialan. Kenapa sih dia? Bukankah namanya sendiri juga mengandung unsur binatang? Dasar lembu!
Kekayaan sumpah serapah? Jelas, tapi aku tidak merasa bahwa umpatan itu kasar. Malah aku tersenyum-senyum sendiri ketika Sungu Lumbu dengan entengnya mengumpat "anjing", "babi" bahkan "tapir buntung". Sialan. Kenapa sih dia? Bukankah namanya sendiri juga mengandung unsur binatang? Dasar lembu!
Umpatan simbahmu koprol pun menjadi umpatan favoritku karena sukses membuatku tertawa terbahak-bahak. Lucu? Nggak sih. Aku hanya tidak habis pikir, Paman Yusi ini keterlaluan koplaknya!
Kekoplakan ini pun tercermin dari sosok Sungu Lembu yang slengean, cerewet, kakehan polah, dan lumayan songong. Meski tutur katanya blak-blakan dan sering mendapat kesialan, tapi justru inilah yang membuat dongeng terasa lebih hidup dan menghibur.
Baca juga: Laut Bercerita dan Penyintas Luka
Baca juga: Laut Bercerita dan Penyintas Luka
Yang paling kusukai dari dongeng ini, Paman Yusi suka menyelipkan kosakata yang jarang digunakan. Sehingga mau tidak mau, aku harus membuka KBBI akibat rasa penasaranku yang mendominasi. Terima kasih Paman Yusi, aku jadi tahu arti kata "merancap". Hehehe.
Sungguh, Paman ini teramat bijak sebab ia memadankan kata-kata yang tadinya terdengar menjijikkan dan kurang patut menjadi lebih santun dan jatmika. Masih banyak adegan menjijikkan lagi yang akan kau temui. Salah satunya adalah bagaimana anjing si Loki Tua—seorang koki yang tak kalah hebat dalam ururan memasak—memakan kotoran temannya sendiri. Ewwwwwh!!! Membayangkannya saja aku sudah mual.
Sungguh, Paman ini teramat bijak sebab ia memadankan kata-kata yang tadinya terdengar menjijikkan dan kurang patut menjadi lebih santun dan jatmika. Masih banyak adegan menjijikkan lagi yang akan kau temui. Salah satunya adalah bagaimana anjing si Loki Tua—seorang koki yang tak kalah hebat dalam ururan memasak—memakan kotoran temannya sendiri. Ewwwwwh!!! Membayangkannya saja aku sudah mual.
Paman Yusi juga dengan bijaknya menyelipkan petuah-petuah yang menohok diriku. Contohnya seperti :
“[…] Setahuku beberapa raja malah tak menyandang keris sama sekali.”
“Raja jenis apa?”
“Raja yang mau lengser dan menjadi pandita.”
“Kautahu kenapa?”
“Bosan jadi raja mungkin.”
Banyak Wetan tertawa. Ia menonyorku lagi. Ia sering melakukannya justru ketika hatinya riang.
“Maksudku, kenapa ia tak membawa keris?”
“Biar duduknya enak mungkin.”
Banyak Wetan tertawa lebih keras lagi. “Ia kadang tak perlu senjata dalam pengertian sesungguhnya. Musuhnya sangat dekat, ada dalam dirinya, hawa nafsunya sendiri.” (hlm. 87)
“Sesuatu yang sempurna tak punya hasrat lagi mencari. Sebuah perahu yang sempurna tak akan butuh lagi mencari ikan, muatan, teman, pelanggan, bahkan tanah baru,” kata Wulu Banyak. (hlm. 216)
Selain kekonyolan yang ditonjolkan oleh tokoh Sungu Lembu, dongeng ini juga penuh dengan "cerita dewasa". Kalau soal ena ena dengan wanita, Sungu Lembu bahkan sudah melakukannya dengan beberapa wanita. Bangsat. Tapi itulah, karakter Sungu Lembu yang terlihat apa adanya, mungkin membuatnya lebih mudah disukai.
Dan jangan lupa pesta ala Suku Berkuda yang "fenomenal" dan sukses membuatku misuh-misuh tapi kok ya tetep dilanjutin bacanya. Hahaha. Sungguh, aku sampai kehabisan kata-kata untuk mendeskripsikan bagian ini saking mualnya membayangkan adegan laknat itu. Yang jelas, kalian harus membacanya sendiri dan rasakan sensasinya!
Baca juga: Belajar Arti Kepercayaan dari Sebuah Titik Temu
Paman Yusi rupanya paham kalau pembaca tidak tahan jika terus-terusan disuguhi oleh adegan berbau darah dan seks. Ada juga beberapa adegan yang lucu, misalnya ketika Sungu Lembu dan Raden Mandasia bertemu dengan "babi yang makan babi" di restoran tempat Loki Tua bekerja. Ada juga adegan yang membuatku terenyuh, ketika Sungu Lembu menyamar dengan mengenakan kulit seorang kasim. Aku bisa membayangkan perasaannya yang nano-nano, merasa bersalah, sedih, dan mungkin juga marah dengan diri sendiri walaupun ia membutuhkan kulit itu.
Aku benar-benar merasa bersalah. Ia merelakan kulitnya untuk orang yang baru ia kenal dengan imbalan yang aku tak akan pernah tahu sepadan tidaknya. (hlm. 361)
Air mataku menetes untuk Kasim U. Ia mati sebagai budak, tapi kulitnya akhirnya merdeka. (hlm. 378)
Sebetulnya aku sedih dan agak kecewa ketika Raden Mandasia wafat. Itu artinya, kisah akan segera berakhir kan? Namun menjelang akhir cerita, aku sempat termangu dan melongo juga ketika Sungu Lembu bertemu dengan Permaisuri Dewi Sinta untuk menyampaikan pesan dari Raden Mandasia. Seolah-olah kisah dalam bab Rahasia Dewi Sinta membuka memoriku kembali pada legenda Sangkuriang dari Tanah Sunda.
Buku ini bisa jadi termasuk buku favoritku dan sangat layak untuk dibaca. Namun, sayangnya aku masih tidak rela kisahnya terlalu cepat berakhir. Padahal ada dua peristiwa besar di sana, yaitu peperangan antara Gilingwesi dan Gerbang Agung yang terpaut jarak ribuan depa. Dan aku masih juga penasaran, siapa itu sosok Putri Tabassum?
Post a Comment