Pict by: me
Kau berkenalan dengan rasa bosan yang tak dapat dipisahkan dari kemiskinan, ketika kau menjadi pengangguran dan karena kurang makan, tak mampu memaksa diri untuk merasa tertarik pada apa pun. Selama setengah hari, kau hanya berbaring dan merasa mirip dengan jeune squelette (kerangka muda) dalam syair Baudelaire. (hlm. 24)
Membaca buku ini serasa membuat saya merasakan masa-masa perang. Perang memang sudah lama berlalu dan siapapun pasti sepakat bahwa perang adalah masa tersuram dan paling tidak mengenakkan. Banyak orang-orang menjadi miskin tiba-tiba. Entah karena harta mereka dijarah tentara atau terpaksa membayar pajak yang sangat tinggi demi biaya perang. Makanan adalah suatu kemewahan. Harganya saja mendadak selangit, sehingga banyak orang rela menjual harta benda mereka demi memenuhi hasrat lapar. Lalu, bagaimana kalau harta benda sudah tidak ada? Mau bagaimana lagi, mengemis pun menjadi jalan satu-satunya.
Buku ini sebetulnya menceritakan tentang perjalanan Orwell setelah ia memutuskan resign dari kepolisian imperial Inggris yang ditugaskan di Burma (Myanmar). Orwell yang bernama asli Eric Blair memilih untuk menyambung hidup dengan menulis di Paris, Prancis. Keputusannya ini sempat ditentang oleh keluarganya. Bagaimana mungkin kau melepas semua kemapananmu lalu memilih hidup secara tidak pasti? Entahlah, mungkin saja Eric sudah bosan dengan kemapanan.
Rupanya keputusan ini menjadi awal nasib buruk yang menimpanya. Ketika di Paris, uangnya sempat dicuri, sehingga ia terpaksa menjalani hidup dengan serba pas-pasan. Ia tinggal di hotel yang sudah renyot dan bau. Dan ia rela bekerja apa saja, termasuk menjadi tukang cuci piring yang jam kerjanya sangat tidak manusiawi.
Hal paling menarik dari novel ini adalah bagaimana Eric bertemu dengan kawan seperjalannya, Boris, seorang Rusia yang kerap dibuai oleh angan-angan. Mereka berdua luntang-luntung mencari kerja meskipun yang didapat hanyalah angin dan rasa lelah. Sampai pada suatu hari, mereka diiming-imingi pekerjaan 'mapan' oleh sebuah restoran yang kabarnya akan buka pada beberapa bulan lagi. Sembari menunggu, mereka memutuskan bekerja sebagai plongeur di sebuah hotel mewah di Paris.
Bayangkan saja, dulu dirimu adalah seorang tentara yang disegani, punya rumah mewah, makanan selalu tersedia, lalu tiba-tiba saja hidupmu menjadi seorang plongeur. Plongeur yang dimaksud adalah tukang cuci piring yang memiliki 'kasta' paling rendah di restoran maupun hotel. Dari kisah inilah, saya jadi paham mengapa Orwell memilih meninggalkan segala kemapanannya.
Mungkin saja dia sengaja karena ingin tahu rasanya jadi 'orang kasta rendah'. Mungkin dengan menjalani kehidupan yang berbanding terbalik dengan kemapanannya, ia bisa mengkritik penguasa seperti layaknya Karl Marx. Atau mungkin saja ia juga ingin menceritakan ketidakpuasannya terhadap kebijakan pemerintah dengan menjadi seorang miskin yang dilupakan. Entah apapun alasannya, semua cerita disajikan Orwell dengan ciamik dan sedikit mendramatisir.
Cerita tentu saja belum selesai. Hidupnya di Paris tak kunjung membaik, sementara ia juga sudah bosan hidup dalam angan-angan, Eric pun memutuskan untuk pindah ke London. Harapannya, ia bisa memiliki pekerjaan yang lebih layak.
Tapi kadang, kenyataan tak sesuai harapan kan? Alih-alih mendapat pekerjaan yang lebih layak, Eric malah terjebak menjadi pengemis. Masalahnya, menjadi pengemis di London ternyata luar biasa menyusahkan. Kalau kau ketahuan sedang duduk di trotoar saja kau akan dianggap mengganggu fasilitas umum dan bisa dipastikan kau akan berurusan dengan aparat. Berbeda sekali dengan pengemis-pengemis di Paris yang meskipun dianggap sebagai kerikil, tapi mereka tidak pernah dianggap sebagai 'pengganggu fasilitas umum'.
Menjadi seorang pengemis membuatnya harus rela berpindah-pindah tempat untuk mencari penginapan gratis bagi tunawisma (spike). Sayangnya, rumah inap gratis ini sangat jauh dari kata layak. Repotnya lagi, setiap tunawisma hanya boleh menginap sehari di setiap rumah. Kalau sedang musim dingin bagaimana ya? Betapa kejamnya hidup, para pencari spike masih saja harus mencari rumah untuk menghangatkan diri. Mereka terus saja mencari tanpa tahu bagaimana menghentikan omong kosong ini.
Novel ini sukses membuatku terheran-heran dan tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa menceritakan kemiskinan dengan sangat apik padahal ia lahir dari keluarga yang cukup berada? Kan bisa aja to, pas dia lagi miskin-miskinnya, buat makan aja susah dan nyaris mustahil, dia bisa menghubungi keluarganya untuk minta pertolongan. Tapi hebatnya, dia tidak melakukannya. Eric Blair a.k.a George Orwell memilih untuk bertahan hidup dengan caranya sendiri.
Ada banyak ironi yang diceritakan dalam novel ini. Misalnya, ketika Eric dan Boris kembali ke hotel kumuh mereka setelah seharian nongkrong di depan hotel menunggul panggilan dari patron. Usai melahap sepotong roti, dengan lincahnya, Boris menulis nama orang-orang yang bisa membantu mereka mendapatkan pekerjaan.
Lain waktu, mereka harus bergelut dengan kenyataan. Uang yang tersisa tinggal 60 sen dan hanya cukup untuk dibelikan setengan pon roti dan sebutir bawang putih yang digosokkan ke roti itu.
Satu hal yang cukup mengena dari tulisan Orwell ini adalah bagaimana kemiskinan bisa saja menghapuskan angan-anganmu akan masa depan. Kau tidak akan pernah bermimpi tentang masa depan jika perutmu sedang kosong. Kau lebih memilih untuk membayangkan makanan apa yang sebaiknya kau makan atau mungkin kau juga akan berandai-andai sedang makan semua makanan enak yang pernah kau makan. Membayangkan makanan saja kadang sudah terasa mengeyangkan.
Saya pun jadi paham bahwa kepuasan hidup tidak melulu soal kemewahan dan kemapanan. Belajar dari pengalaman sebagai plongeur, kepuasan hidup ternyata jauh lebih remeh, yaitu seperti kepuasan para hewan yang dicukupi makannya. Miris memang, tapi bukankah bisa makan saja sudah cukup membantumu bertahan hidup?
Selama membaca buku terjemahan, menurut saya, terjemahan dari OAK ini bisa dibilang bagus. Gaya bahasa yang digunakan pun akrab dan tidak bertele-tele, sehingga mampu membuat pembaca ikut masuk ke dalam cerita. Meski penerjemah masih mempertahankan istilah-istilah bahasa Prancis, saya rasa pembaca tidak kesulitan untuk memahaminya karena penerjemah sudah memberikan keterangannya dalam catatan kaki.
Akhir kata, buku ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Sebab, kau akan tahu bahwa kepahitan hidupmu tidak ada apa-apanya dan kau akan lebih merasa bersyukur karenanya.
Buku ini sebetulnya menceritakan tentang perjalanan Orwell setelah ia memutuskan resign dari kepolisian imperial Inggris yang ditugaskan di Burma (Myanmar). Orwell yang bernama asli Eric Blair memilih untuk menyambung hidup dengan menulis di Paris, Prancis. Keputusannya ini sempat ditentang oleh keluarganya. Bagaimana mungkin kau melepas semua kemapananmu lalu memilih hidup secara tidak pasti? Entahlah, mungkin saja Eric sudah bosan dengan kemapanan.
Rupanya keputusan ini menjadi awal nasib buruk yang menimpanya. Ketika di Paris, uangnya sempat dicuri, sehingga ia terpaksa menjalani hidup dengan serba pas-pasan. Ia tinggal di hotel yang sudah renyot dan bau. Dan ia rela bekerja apa saja, termasuk menjadi tukang cuci piring yang jam kerjanya sangat tidak manusiawi.
Hal paling menarik dari novel ini adalah bagaimana Eric bertemu dengan kawan seperjalannya, Boris, seorang Rusia yang kerap dibuai oleh angan-angan. Mereka berdua luntang-luntung mencari kerja meskipun yang didapat hanyalah angin dan rasa lelah. Sampai pada suatu hari, mereka diiming-imingi pekerjaan 'mapan' oleh sebuah restoran yang kabarnya akan buka pada beberapa bulan lagi. Sembari menunggu, mereka memutuskan bekerja sebagai plongeur di sebuah hotel mewah di Paris.
Bayangkan saja, dulu dirimu adalah seorang tentara yang disegani, punya rumah mewah, makanan selalu tersedia, lalu tiba-tiba saja hidupmu menjadi seorang plongeur. Plongeur yang dimaksud adalah tukang cuci piring yang memiliki 'kasta' paling rendah di restoran maupun hotel. Dari kisah inilah, saya jadi paham mengapa Orwell memilih meninggalkan segala kemapanannya.
Mungkin saja dia sengaja karena ingin tahu rasanya jadi 'orang kasta rendah'. Mungkin dengan menjalani kehidupan yang berbanding terbalik dengan kemapanannya, ia bisa mengkritik penguasa seperti layaknya Karl Marx. Atau mungkin saja ia juga ingin menceritakan ketidakpuasannya terhadap kebijakan pemerintah dengan menjadi seorang miskin yang dilupakan. Entah apapun alasannya, semua cerita disajikan Orwell dengan ciamik dan sedikit mendramatisir.
Cerita tentu saja belum selesai. Hidupnya di Paris tak kunjung membaik, sementara ia juga sudah bosan hidup dalam angan-angan, Eric pun memutuskan untuk pindah ke London. Harapannya, ia bisa memiliki pekerjaan yang lebih layak.
Tapi kadang, kenyataan tak sesuai harapan kan? Alih-alih mendapat pekerjaan yang lebih layak, Eric malah terjebak menjadi pengemis. Masalahnya, menjadi pengemis di London ternyata luar biasa menyusahkan. Kalau kau ketahuan sedang duduk di trotoar saja kau akan dianggap mengganggu fasilitas umum dan bisa dipastikan kau akan berurusan dengan aparat. Berbeda sekali dengan pengemis-pengemis di Paris yang meskipun dianggap sebagai kerikil, tapi mereka tidak pernah dianggap sebagai 'pengganggu fasilitas umum'.
Menjadi seorang pengemis membuatnya harus rela berpindah-pindah tempat untuk mencari penginapan gratis bagi tunawisma (spike). Sayangnya, rumah inap gratis ini sangat jauh dari kata layak. Repotnya lagi, setiap tunawisma hanya boleh menginap sehari di setiap rumah. Kalau sedang musim dingin bagaimana ya? Betapa kejamnya hidup, para pencari spike masih saja harus mencari rumah untuk menghangatkan diri. Mereka terus saja mencari tanpa tahu bagaimana menghentikan omong kosong ini.
Novel ini sukses membuatku terheran-heran dan tidak habis pikir. Bagaimana mungkin dia bisa menceritakan kemiskinan dengan sangat apik padahal ia lahir dari keluarga yang cukup berada? Kan bisa aja to, pas dia lagi miskin-miskinnya, buat makan aja susah dan nyaris mustahil, dia bisa menghubungi keluarganya untuk minta pertolongan. Tapi hebatnya, dia tidak melakukannya. Eric Blair a.k.a George Orwell memilih untuk bertahan hidup dengan caranya sendiri.
Ada banyak ironi yang diceritakan dalam novel ini. Misalnya, ketika Eric dan Boris kembali ke hotel kumuh mereka setelah seharian nongkrong di depan hotel menunggul panggilan dari patron. Usai melahap sepotong roti, dengan lincahnya, Boris menulis nama orang-orang yang bisa membantu mereka mendapatkan pekerjaan.
"Besok, kita akan temukan sesuatu, mon ami, aku merasakan itu. Nasib selalu berubah. Di samping itu, kita berdua punya otak—manusia berotak tak mungkin merasa kelaparan." (hlm.40)
Lain waktu, mereka harus bergelut dengan kenyataan. Uang yang tersisa tinggal 60 sen dan hanya cukup untuk dibelikan setengan pon roti dan sebutir bawang putih yang digosokkan ke roti itu.
Kenapa roti harus digosok dengan bawang putih? Karena dengan begitu, rasa roti dan bawang putih akan tertinggal di mulut, dan untuk beberapa waktu, itu akan memberi kami ilusi bahwa kami baru saja makan. (hlm. 67)
Satu hal yang cukup mengena dari tulisan Orwell ini adalah bagaimana kemiskinan bisa saja menghapuskan angan-anganmu akan masa depan. Kau tidak akan pernah bermimpi tentang masa depan jika perutmu sedang kosong. Kau lebih memilih untuk membayangkan makanan apa yang sebaiknya kau makan atau mungkin kau juga akan berandai-andai sedang makan semua makanan enak yang pernah kau makan. Membayangkan makanan saja kadang sudah terasa mengeyangkan.
Saya pun jadi paham bahwa kepuasan hidup tidak melulu soal kemewahan dan kemapanan. Belajar dari pengalaman sebagai plongeur, kepuasan hidup ternyata jauh lebih remeh, yaitu seperti kepuasan para hewan yang dicukupi makannya. Miris memang, tapi bukankah bisa makan saja sudah cukup membantumu bertahan hidup?
Selama membaca buku terjemahan, menurut saya, terjemahan dari OAK ini bisa dibilang bagus. Gaya bahasa yang digunakan pun akrab dan tidak bertele-tele, sehingga mampu membuat pembaca ikut masuk ke dalam cerita. Meski penerjemah masih mempertahankan istilah-istilah bahasa Prancis, saya rasa pembaca tidak kesulitan untuk memahaminya karena penerjemah sudah memberikan keterangannya dalam catatan kaki.
Akhir kata, buku ini sangat saya rekomendasikan untuk dibaca. Sebab, kau akan tahu bahwa kepahitan hidupmu tidak ada apa-apanya dan kau akan lebih merasa bersyukur karenanya.
Post a Comment