Sejujurnya, membaca Akulah Istri Teroris membuat saya tak kuasa menahan ekspektasi-ekspektasi yang berlebihan. Saya pikir, buku ini mampu menjadi "Sang Pencerah" bagi orang-orang yang kerap kali menaruh curiga dan prasangka.
Tapi, ternyata ekspektasi hanyalah ekspektasi.
Bagi saya, membaca buku ini sekaligus menjadi bahan introspeksi diri, apakah selama ini kita sudah bersikap adil sejak dalam pikiran? Sebab, akhir-akhir ini kita mudah sekali menuduh, cepat sekali menghakimi sampai-sampai kita luput memahami sisi lain dari orang-orang yang tertuduh sekaligus terhakimi. Tak jarang, kita merasa menjadi seorang diri yang paling benar.
Bagi saya, membaca buku ini sekaligus menjadi bahan introspeksi diri, apakah selama ini kita sudah bersikap adil sejak dalam pikiran? Sebab, akhir-akhir ini kita mudah sekali menuduh, cepat sekali menghakimi sampai-sampai kita luput memahami sisi lain dari orang-orang yang tertuduh sekaligus terhakimi. Tak jarang, kita merasa menjadi seorang diri yang paling benar.
Eh, sebentar.
Bukankah kebenaran mutlak hanyalah milik Tuhan semata?
***
Novel ini dibuka dengan narasi curhatan seorang ibu muda bernama Ayu yang kerap dicemooh oleh tetangganya. Suaminya, Ardianto, baru saja berpulang ke Rahmatullah akibat kejadian "maghrib yang naas" itu. Sebagai single parent, tentu tidak mudah membesarkan kedua buah hatinya seorang diri. Apalagi jika setelah suaminya tiada, ia sudah dilabeli stigma sebagai istri mendiang teroris. Padahal bisa aja itu hanyalah dugaan atau prasangka. Toh, kebenaran isi hati manusia hanya Tuhan kan Yang Maha Tahu?
***
Novel ini dibuka dengan narasi curhatan seorang ibu muda bernama Ayu yang kerap dicemooh oleh tetangganya. Suaminya, Ardianto, baru saja berpulang ke Rahmatullah akibat kejadian "maghrib yang naas" itu. Sebagai single parent, tentu tidak mudah membesarkan kedua buah hatinya seorang diri. Apalagi jika setelah suaminya tiada, ia sudah dilabeli stigma sebagai istri mendiang teroris. Padahal bisa aja itu hanyalah dugaan atau prasangka. Toh, kebenaran isi hati manusia hanya Tuhan kan Yang Maha Tahu?
Rasanya, buku ini lebih pantas disebut buku harian daripada novel. Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, penulis seakan mengajak pembaca untuk menyelami isi hati tokoh Ayu. Hanya saja, saya kok kurang bisa menikmatinya ya? Alih-alih bersimpati dengan kehidupan Ayu yang penuh lika-liku nan sendu, saya malah jadi ingin cepat-cepat menyelesaikan cerita.
Ya, gimana saya nggak bosan? Isi buku ini kebanyakan justru berupa dialog, baik itu yang sesuai dengan cerita atau malah keluar dari konteks. Atau jangan-jangan, Abidah El Khalieqy sengaja menyuguhkan cerita seperti ini? Entahlah, yang jelas saya jadi terganggu karena percakapan-percakapan yang membosankan tadi.
Selain itu, saya juga gemas sekali dengan tokoh Ayu. Saya merasa, perempuan ini cerdas tapi kok tidak pandai sih??? Cerdas sebab ketika kuliah dia selalu mendapatkan prestasi gemilang. Namun dalam novel ini, seolah-olah kecerdasan Ayu benar-benar dimatikan, digantikan oleh rasa pasrah dan tidak berdaya karena kuasa suaminya.
"Bukan tugas umi untuk bekerja mencari nafkah. Itu kan tugas abi. Lagian tugas umi yang wajib ditunaikan, telah menunggu di depan mata""Apa?""Mengurus anak-anak dan suami. Mengurus rumah tangga. Di sanalah sorga para istri sesungguhnya. Para istri yang shalihah" (hlm. 29)
Saya paham perasaan Ayu yang begitu ingin menyelesaikan kuliahnya yang terbengkalai. Sayangnya, keinginan Ayu harus ia pendam dalam-dalam karena tiada dukungan apalagi restu dari suaminya. Ia sadar, ia tidak sepaham dengan suaminya, tapi ia tidak kuasa mendebat. Salah-salah malah dikira tidak taat sama suami. Ia terlalu takut kehilangan keshalihannya yang sudah susah payah diraihnya.
Saya kira, sosok Ayu ini sebenarnya teramat lugu, sehingga ia pun harus "disetir" adiknya bahkan untuk mengambil keputusan sekalipun. Mau dibilang plin plan kok enggak, tapi ia pun juga tidak memiliki pendirian. Dasar abu-abu.
Setelah kehilangan sosok suaminya, yang jadi satu-satunya penopang hidup alias pencari rezeki, Ayu pun kelimpungan. Karena kemudahannya bersikap pasrah, hal positif yang dia lakukan hanyalah mengadu, mengadu, mengadu kepada-Nya. Seolah-olah permasalahan hidupnya bakal selesai apabila sudah berkeluh kesah kepada Tuhan.
Padahal ya nggak gitu keleus. Bukankah Tuhan sendiri juga menginginkan agar manusia selalu berusaha? Berdoa itu perlu, tapi ya dibarengi dengan usaha juga dong. Hehehe maaf jadi kebablasan nyinyir.
Saya rasa, novel ini terlalu dipaksa agar ceritanya segera berakhir. Penyajian ceritanya terlalu bertele-tele dan kebanyakan drama. Alih-alih mendapatkan "hidayah" mengenai sisi lain dari kehidupan istri sang teroris, pembaca justru disuguhkan romansa picisan seperti pada novel-novel populer yang hits di kalangan abege. Yang kalau baru ketemu di suatu tempat, eh tiba-tiba aja muncul benih-benih cinta. Hadeeeh.
Lantas, apa yang hendak disampaikan? Bahwa istri (mantan) teroris juga bisa move on gitu?
Memang sih, setelah bertemu sang pujaan hati, Ayu jadi bersikap lebih terbuka. Dia mulai berbicara kepada tetangga-tetangganya yang tukang nyinyir, dia mulai mendengarkan pendapat keluarganya bahkan dia juga rela melepas cadarnya lho! Keren kan? Sampai di sini, saya merasa kagum dengan perubahan Ayu.
Tapi, ya gimana yaaa. Saya kok masih saja tidak bisa menikmati cerita. Yang ada, saya justru uring-uringan sepanjang halaman. Bagaimana bisa sebuah novel yang sudah melalui tahapan editing/penyuntingan hingga akhirnya bisa dicetak dan dipublikasikan, akan tetapi masih mengandung tulisan aktifitas alih-alih aktivitas??? Coba deh liat halaman 25. Jujur, saya risih banget dengan penggunaan kosakata asing seperti survive (hlm. 16) dan smart (hlm. 25). Meski saya bukan aktivis bahasa seperti Ivan Lanin, tapi penggunaan diksi dan kosakata semacam ini juga membuat saya ilfil lho!
Memang sih, setelah bertemu sang pujaan hati, Ayu jadi bersikap lebih terbuka. Dia mulai berbicara kepada tetangga-tetangganya yang tukang nyinyir, dia mulai mendengarkan pendapat keluarganya bahkan dia juga rela melepas cadarnya lho! Keren kan? Sampai di sini, saya merasa kagum dengan perubahan Ayu.
Tapi, ya gimana yaaa. Saya kok masih saja tidak bisa menikmati cerita. Yang ada, saya justru uring-uringan sepanjang halaman. Bagaimana bisa sebuah novel yang sudah melalui tahapan editing/penyuntingan hingga akhirnya bisa dicetak dan dipublikasikan, akan tetapi masih mengandung tulisan aktifitas alih-alih aktivitas??? Coba deh liat halaman 25. Jujur, saya risih banget dengan penggunaan kosakata asing seperti survive (hlm. 16) dan smart (hlm. 25). Meski saya bukan aktivis bahasa seperti Ivan Lanin, tapi penggunaan diksi dan kosakata semacam ini juga membuat saya ilfil lho!
Andaikan novel ini adalah paper tugas kuliah saya, bisa-bisa saya banyak mendapat catatan merah dari dosen saya.
Lalu, benarkah novel ini dibuat semata hanya untuk menepis stigma yang melekat pada istri teroris? Atau kah kemunculannya hanya sebagai gimmick belaka mumpung isu-isu mengenai perempuan pelaku teror tengah hangat di jagat maya?
Entahlah. Kalau kau memang penasaran dengan kelanjutan ceritanya, ya iqra!
Post a Comment