Photo by Adobe Stock |
Di Indonesia, penolakan pernikahan dini sudah diangkat sejak Kongres Perempuan I pada tahun 1928. Namun, hingga saat ini pernikahan dini masih marak terjadi. Anggapan bahwa pernikahan dini merupakan upaya untuk menghindari zina membuat banyak orang tua ketar-ketir. Mereka khawatir anaknya bergaul terlalu bebas, sehingga tanpa ragu mereka merestui pernikahan tersebut.
Cerita sepasang bocah bernama ZA (13) dan IB (15) asal Kalimantan Selatan yang melakukan pernikahan membuat linimasa saya yang tadinya sepi menjadi ramai bak festival kembang api. Berita pernikahan itu sontak membuat saya terkejut. Apalagi kedua mempelai masih sangat muda dan mungkin baru menginjak bangku SMP. Saya tak habis pikir, bagaimana caranya remaja yang baru saja menginjak masa abege melangsungkan pernikahan secara sadar karena kemauannya sendiri? Pun tidak apa paksaan datang dari kedua orang tua masing-masing. Malahan, sang nenek dari pihak laki-laki dikabarkan setuju dengan pernikahan keduanya. Alasannya, untuk menghindari zina dan malu dengan omongan tetangga.
Kasus kedua adalah pernikahan yang dilakukan oleh siswi di Sinjai Utara, yaitu RSR (12) dengan seorang pemuda bernama E (21). Orang tua dari pihak perempuan pun merestui pernikahan ini karena khawatir putrinya bakal terlibat pergaulan bebas. Bahkan ibu RSR bersikeras agar anaknya segera dinikahkan karena sudah berpacaran dengan E selama dua tahun. Ia khawatir hubungan itu akan menjadi bahan omongan tetangga. Namun, pernikahan ini akhirnya batal karena RSR dianggap masih di bawah umur oleh petugas KUA.
Contoh lain dari maraknya pernikahan dini di Indonesia adalah pernikahan dua orang pelajar SMP bernama FA (14) dan SY (16) di Bantaeng, Sulawesi Selatan. Diakui oleh ayah FA, ia dan keluarga sepakat untuk menikahkan putrinya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan. Apalagi semenjak ibunya meninggal, FA merasa takut tidur sendirian sementara ayahnya sering ke luar kabupaten untuk bekerja. Pernikahan FA dan SY sempat ditolak oleh KUA Kabupaten Bantaeng karena usia keduanya masih di bawah umur, akan tetapi kedua mempelai mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama. Permohonan dispensasi pun dikabulkan, sehingga akhirnya mereka bisa melangsungkan akad nikah.
Sejatinya, pernikahan adalah upaya yang dilakukan oleh pasangan, umumnya laki-laki dan perempuan, untuk meresmikan ikatan perkawinan baik secara norma agama, norma hukum maupun norma sosial. Dalam Islam, pernikahan didefinisikan sebagai perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk membentuk keluarga, melanjutkan keturunan, dan menjaga ketentraman jiwa.
Namun, rasanya akhir-akhir ini, makna pernikahan direduksi menjadi upaya pencegahan perbuatan zina. Kampanye "lebih baik menikah muda daripada zina" juga semakin gencar disuarakan, terutama dalam sosial media. Tak heran, apabila saat ini mulai muncul gerakan nikah muda seperti #IndonesiaTanpaPacaran (ITP) yang digagas oleh La Ode Munafar. Gerakan ini menganggap bahwa menikah muda bisa jadi sesuatu yang positif dan jadi solusi utama agar terhindar dari dosa berzina.
Sementara itu, UNICEF dan BPS telah merilis laporan berjudul Analisis Data Perkawinan Usia Anak di Indonesia pada awal tahun 2016 silam. Dalam laporan tersebut, Indonesia dikatakan sebagai negara dengan tingkat perkawinan anak tertinggi ketujuh di dunia dan parahnya, menjadi yang kedua tertinggi di ASEAN setelah Kamboja.
Pernikahan dini memang bukan hal yang baru. Sudah banyak kasus pernikahan dini yang dilatari oleh alasan yang berbeda-beda, misalnya masalah ekonomi, budaya, pemahaman agama, rendahnya tingkat pendidikan hingga married by accident (MBA). Menurut undang-undang, pernikahan dini diartikan sebagai pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu perempuan pada usia sekurang-kurangnya 16 tahun sementara laki-laki berusia sekurang-kurangnya 19 tahun.
Keputusan menikah dini dengan alasan apapun, termasuk menghindari zina, tentu perlu dihormati. Namun, apakah tujuan utama dari pernikahan semata-mata hanyalah untuk menghindari zina?
Ya, tentu saja tidak.
Selain melanggar UU, pernikahan dini berpotensi melanggar hak-hak anak bahkan bisa membahayakan kesehatan anak. Salah satunya contoh paling nyata adalah anak yang menikah di usia dini sudah bisa dipastikan akan berhenti sekolah atau tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Ada yang malu kembali ke sekolah lantaran sudah menikah. Ada yang terpaksa drop out karena dikira MBA. Bahkan ada juga yang masih ingin sekolah tetapi tidak diizinkan oleh suaminya.
Pernikahan dini memang tak hanya berpengaruh pada pendidikan anak saja, melainkan juga pada kesehatan. Ibu yang berusia kurang dari dua puluh tahun memiliki risiko melahirkan yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan buruknya kesehatan reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap dampak persalinan dini. Risiko kematian bayi pun lebih tinggi akibat komplikasi saat persalinan dan tubuh yang belum sepenuhnya "siap" untuk melahirkan.
Selain tingginya angka kematian, bayi yang dikandung oleh ibu "muda" ini berpeluang menderita kekurangan gizi akut karena kurangnya asupan gizi sejak dalam kandungan. Kekurangan yang dinamakan stunting ini baru akan nampak saat anak menginjak usia dua tahun. Menurut data yang dihimpun oleh Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) pada tahun 2010, ada 35,6% balita yang menderita stunting. Angka ini kemudian naik menjadi 37,2% pada tahun 2013. Dengan kata lain, ada 1 dari 3 atau 9,5 juta balita di Indonesia yang mengalami stunting. Fakta-fakta inilah yang membuat Indonesia menyandang gelar sebagai negara dengan populasi balita stunting terbanyak kelima di dunia.
Sudah bukan rahasia lagi apabila dalam pernikahan dini akan ditemui pemalsuan usia. Biasanya, mereka yang dinikahkan dan masih di bawah umur, akan meminta dispensasi ke pengadilan. Namun, ada juga orang tua yang memilih menikahkan anaknya secara siri terlebih dahulu. Apabila si anak sudah cukup umur, maka mereka akan dinikahkan kembali yang kedua kalinya agar dapat tercatat di KUA. Dalam berbagai kasus pernikahan dini, selalu ada orang "dalam" yang akan membantu mengurus pencatatan pernikahan ke KUA dengan memalsukan usia mempelai, terutama mempelai perempuan.
Meski pernikahan secara siri tetap dianggap sah, akan tetapi pada kenyataannya justru lebih banyak merugikan perempuan. Selain dianggap tidak "sah" secara hukum, istri dari pernikahan siri tidak akan mendapatkan hak sebagaimana seharusnya bila menjadi istri sah secara hukum. Hak-hak yang dimaksud bisa berupa hak nafkah lahir maupun batin, hak nafkah dan penghidupan anak serta hak waris. Konsekuensi lain dari pernikahan siri juga akan berdampak pada sang anak. Umumnya, anak yang dihasilkan dari pernikahan siri tidak memiliki akta kelahiran lengkap. Dengan kata lain, pada akta anak tersebut hanya tertulis nama ibu saja karena tidak memiliki hubungan hukum dengan ayah sesuai dengan UU Perkawinan. Akta yang tidak lengkap seperti ini bisa jadi akan mempengaruhi kondisi psikologis anak di kemudian hari.
Pernikahan dini memang tak selalu akibat dari paksaan orang tua. Malahan sekarang, pernikahan dini cenderung terjadi karena dilatarbelakangi alasan suka sama suka. Dalam beberapa kondisi, ada sepasang remaja yang mengaku sudah saling mencintai, sehingga mereka ingin menikah tanpa memandang umur terlebih dahulu. Hal ini dipicu karena adanya perasaan saling membutuhkan dan sudah merasa cocok. Ada juga perasaan takut akan kehilangan dan patah hati apabila hubungan berakhir. Atas dasar itulah, maka beberapa pasangan remaja memilih untuk langsung menikah meski masih "belum cukup umur".
Entah apapun alasannya, pernikahan dini memang hampir selalu memiliki dampak negatif. Menikah di usia dini lebih berisiko tidak tercapainya tujuan pernikahan, yaitu membentuk keluarga dan menentramkan jiwa. Hal ini dapat terjadi karena umumnya pernikahan dini justru melahirkan pertengkaran-pertengkaran akibat dari emosi yang tidak stabil. Kedewasaan memang tidak bergantung pada usia seseorang. Namun, semakin dewasa seseorang bukankan ia juga lebih mampu mengimbangi emosinya? Apabila ada pasangan yang masih senang bertengkar, bukankah mereka masih cenderung kekanak-kanakan dan belum mampu mengatur emosi labilnya?
Selain itu, anak-anak yang melakukan pernikahan dini juga belum mengerti betul tentang berhubungan seks. Apabila terjadi kekerasan seksual yang seringkali korbannya adalah perempuan, tentu akan menimbulkan trauma berkepanjangan yang mungkin akan sulit disembuhkan.
Post a Comment