Photo by Helena Lopes on Unsplash |
Bahasa gado-gado yang identik dengan istilah "keminggris" ini memang bukan hal yang baru. Bahkan fenomena ini sudah terjadi jauuuuh lebih lama sebelum jokes Jaksel mulai ramai diperbincangkan di sosial media. The Jakarta Post dalam artikelnya yang berjudul "Mix lingo 'literally' a thing for South Jakarta" menyebutkan bahwa gaya bahasa demikian sebenarnya adalah bukti kalo anak-anak muda—notabene yang tinggal di wilayah perkotaan—cenderung memperlihatkan keinginannya untuk berkomunikasi dalam bahasa global, yaitu bahasa Inggris. Entah dengan gaya bahasa yang masih gado-gado atau memang sudah fasih dari sononya, anak muda justru merasa lebih bangga apabila mampu berbicara dalam bahasa asing dalam percakapan sehari-hari.
Namun nyatanya, gaya bahasa gado-gado ini juga turut menandakan "status" atau "kelas" seseorang. Penguasaan bahasa asing dianggap sebagai sebuah prestise atau gengsi. Tak heran, apabila banyak pejabat pemerintahan juga turut menerapkan gaya bahasa gado-gado ini.
Baca juga: Perbedaan yang Tak Seharusnya Diperdebatkan
Baca juga: Perbedaan yang Tak Seharusnya Diperdebatkan
Sebagai contoh adalah Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Dalam laporan Kompas.com yang berjudul "Anies: Jadi Orang Miskin di Jakarta Lebih Mahal Ketimbang Orang Kaya" pada Selasa (4/9) silam, Anies tengah diwawancarai wartawan dalam sebuah seminar terkait dengan tingkat kemiskinan warga DKI yang mencapai 30% atau 384.000 jiwa dari total 10,3 juta penduduk DKI.
Anies mengatakan, "Kita punya penduduk 10 juta, dan 30 persen earning less than 1 million per month. Dan bapak ibu semua menyadari what does it mean having 1 milion in the city like Jakarta. What can you do dengan angka itu? This is a problem,"
Anies Baswedan sendiri merupakan doktor lulusan Northern Illinois Univesity di Amerika. Jadi, wajar dong kalo dia fasih menggunakan bahasa Inggris? Selain Anies, ada juga beberapa pejabat RI seperti Menkeu Sri Mulyani, Sandiaga Uno hingga Presiden RI ke-6 SBY juga pernah berbicara keminggris dalam pernyataan publik mereka. Entah apapun tujuannya, fenomena ini sekaligus menjadi fakta bahwa gaya bahasa keminggris sudah jadi hal yang "lumrah" bagi masyarakat.
Namun masalahnya, apakah gaya bahasa keminggris ini semata-mata digunakan hanya untuk meraih prestise? Atau memang justru karena kurangnya rasa percaya diri kita untuk menggunakan bahasa Indonesia?
Percampuran Kode Bahasa
Dalam kajian sosiolinguistik, gaya bahasa campuran atau gado-gado umumnya dikenal sebagai code mixing atau percampuran kode. Sumarlam dengan bukunya yang berjudul Analisis Wacana (2009) mengatakan bahwa percampuran kode merupakan suatu peralihan pemakaian bahasa atau ragam bahasa ke bahasa lain atau ragam bahasa lain ke dalam bentuk tulisan atau percakapan. Campur kode banyak dijumpai di Indonesia karena dominasi masyarakat daerah di Indonesia. Contoh saya ambil dari percakapan sehari-hari saya yang menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa.
Selain itu, percampuran kode juga dapat terjadi akibat adanya pengaruh dari budaya luar, terutama budaya barat yang identik dengan budaya Eropa dan Amerika. Ada rasa kagum terhadap hal-hal yang berbau asing, sehingga gaya kebarat-baratan seringkali dianggap sebagai sebuah gengsi dan lambang "gaul". Salah satu gaya yang paling sering digunakan adalah dengan penggunaan istilah bahasa asing.
(Ya sudah, kalo enggak besok aku ke kosanmu dulu aja)
(Tapi aku kok nggak ngerti kerjaannya)
(Ngikut kamu aja)
Sekilas, percakapan di atas memang tidak terasa aneh. Tidak ada yang salah bahkan mungkin sudah sangat lazim digunakan. Namun, percakapan tersebut mengindikasikan bahwa telah terjadi percampuran kode antara bahasa Indonesia dengan bahasa Jawa. Percampuran kode ini dapat terjadi apabila penutur menyelipkan kosa kata bahasa daerah—dalam hal ini bahasa Jawa—ke dalam percakapan, sehingga mengakibatkan munculnya gaya bahasa Indonesia yang kejawa-jawaaan.
Hal tersebut juga diamini oleh Ivan Lanin. Dilansir dari Tirto.id, pecinta bahasa Indonesia yang juga penulis buku Xenoglosofilia, Kenapa Harus Nginggris? ini berpendapat bahwa kecenderungan seseorang berbicara dengan bahasa campuran sebenarnya untuk menunjukkan tingkat intelektualitas yang lebih tinggi. Dengan kata lain, seseorang yang berbicara dengan gaya bahasa campuran biasanya akan dipandang sebagai orang yang terdidik, berkelas, dan memiliki pergaulan yang luas.
Fenomena ini juga diperkuat dengan adanya tren kekinian yang mungkin berasal dari hasil imitasi tindakan orang lain. Misalnya seperti artis atau public figure yang kerap menggunakan gaya bahasa gado-gado. Berikut saya ambil contohnya dari tweet mb @raisa6690, koh @aMrazing, dan mb @ikanatassa.
Baca juga: Romansa Bahagia dalam Critical Eleven
Sementara itu, Ika Natassa dikenal sebagai penulis novel roman favorit anak muda. Buku-bukunya saja banyak yang best-seller, terutama Critical Eleven yang sempat diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama dan dibintangi oleh aktor dan artis ternama seperti Reza Rahardian dan Adinia Wirasti. Dalam novel Citical Eleven pun terselip ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah berbahasa Inggris yang tentu saja membuat pembaca harus rajin membuka kamus agar dapat memahami isi serta konteksnya.
Berdasarkan latar belakang ketiga tokoh yang saya sebutkan tadi, gaya bahasa keminggris yang dilakukan ketiganya bukan sekadar pemenuhan gengsi belaka. Ada identitas sosial yang hendak ditunjukkan. Ketiganya tentu dapat dikategorikan sebagai kelas menengah ke atas, dengan gaya hidup "wah", dan tinggal di lingkungan yang kosmopolit. Selain itu, ada latar pendidikan dan pengalaman kerja yang menuntut mereka mampu bercakap-cakap dengan bahasa Inggris.
Bahasa Kaum Eksklusif
Fenomena keminggris memang bukanlah hal baru. Apalagi semenjak bahasa Inggris kian diterima sebagai bahasa pergaulan internasional. Hal ini terlihat dari pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah, munculnya tren sekolah bertaraf internasional hingga persyaratan sertifikasi bahasa Inggris di setiap lowongan kerja. Lantas, bercakap-cakap dalam bahasa Inggris pun dianggap lebih membanggakan dan "wah" bagi para penuturnya.
Meskipun demikian, tak selamanya penutur bahasa Inggris ini betul-betul menggunakan bahasa Inggris dalam setiap percakapan. Malahan kini, kebanyakan penutur lebih suka mencapuradukkan antara bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Kebiasaan mencampuradukkan bahasa inilah yang kerap disebut sebagai gaya bahasa gado-gado atau keminggris.
Nababan dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik: Suatu Pengantar (1993), bahasa gado-gado lebih sering digunakan dalam situasi informal atau santai. Umumnya, penutur bahasa ini adalah para pebisnis, akademisi, dan pejabat di berbagai lembaga pemerintahan.
Jumlah penutur bahasa gado-gado ini tentu tidak sebanding dengan jumlah total penduduk Indonesia. Setidaknya hanya ada 1-3% saja yang tergolong penutur bahasa gado-gado, yaitu mereka yang terdiri dari kalangan terdidik, yang mendapatkan akses belajar bahasa Inggris di sekolah maupun universitas terbaik hingga belajar ke negara-negara berbahasa Inggris lainnya. Tak pelak, fenomena ini turut menimbulkan ketimpangan sosial yang mengakibatkan munculnya anggapan bahwa mereka yang mampu berbahasa Inggris adalah orang-orang intelek.
Keminggris Demi Gengsi
Hingga jokes anak Jaksel muncul, istilah-istilah bahasa Inggris memang sudah banyak digunakan. Malahan kebiasaan ini sudah menjadi gaya hidup tersendiri dan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Sebagian orang tua bahkan berusaha sedini mungkin untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anaknya. Memang tidak salah, terlebih mengajarkan bahasa Inggris kepada anak dilakukan untuk mempersiapkan sang anak menghadapi dunia global. Namun, perlahan tujuan tersebut berubah menjadi abu-abu, digantikan oleh rasa gengsi. Ada perasaan ingin merasa hebat dan "maju" apabila orang tua dan anak mampu bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di ruang publik.
Lain orang tua, lain pula dengan anak. Pada anak muda, misalnya, mereka cenderung menggunakan gaya bahasa keminggris karena dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud tentu erat kaitannya dengan tingkat pendidikan, gaya hidup, ekonomi orang tua hingga tempat tinggal yang berada di perkotaan. Meskipun demikian, tidak semua anak muda fasih dan lancar berbahasa Inggris. Ada pula yang kemampuannya masih kurang, tetapi karena ingin diterima di lingkungan pergaulannya, lantas ia pun sering menyelipkan kosakata dan istilah bahasa Inggris di setiap percakapannya. Harapannya, agar ia terlihat sama "intelek" dan "gaul" seperti teman-teman sepergaulannya.
Fenomena ini semakin menguatkan argumen bahwa bahasa Inggris adalah bahasa kaum intelek dengan kelas sosial lebih tinggi. Sedangkan, bahasa Indonesia sebagai bahasa "terpinggirkan" dianggap sebagai bahasa orang awam atau orang kebanyakan dengan kultur dan latar belakang yang dinilai lebih rendah daripada bahasa Inggris. Ada rasa canggung apabila berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebagian orang bahkan merasa lebih malu apabila keliru atau salah menggunakan kosakata berbahasa Inggris ketimbang keliru dalam menggunakan kosakata bahasa Indonesia. Hal ini terjadi akibat adanya rasa inferior, malu dengan identitas bangsanya, lantas mengagung-agungkan dan keblinger dengan budaya dan bahasa asing. Perasaan inilah yang seringkali saya sebut sebagai mental inlander.
Malas Mencari Padanan Bahasa Indonesia
Meskipun istilah-istilah bahasa Inggris sudah lazim digunakan, alangkah sayang apabila kebiasaan ini justru malah menggusur atau malah menghilangkan bahasa kita sendiri. Kebanyakan orang lebih sering menggunakan istilah bahasa Inggris alih-alih mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahkan saat ini, bahasa Indonesia sudah menyerap banyak istilah berbahasa Inggris ke dalam Kemus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara harfiah. Sebagai contoh adalah "destinasi", "experimen", "edukasi", "selebrasi", dan "manajemen". Padahal kata-kata serapan tersebut dalam ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu "tujuan wisata", "percobaan", "pengajaran", "perayaan", dan "pengelolaan".
Bukankah fenomena demikian justru menunjukkan kemalasan kita untuk mencari padanan kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia?
Baca juga: Mempertanyakan Kembali Makna Toleransi di Jogja yang Toleran
Sebetulnya, penggunaan istilah bahasa Inggris tidak dipermasalahkan mengingat ada beberapa istilah yang belum memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh adalah kata phubbing yang apabila diterjemahkan secara harfiah merujuk pada "tindakan acuh tak acuh yang dilakukan seseorang di sebuah lingkungan karena lebih fokus pada gawainya daripada membangun sebuah percakapan". Coba, ada nggak yang bisa menemukan padanan kata phubbing dalam bahasa Indonesia sesuai dengan pengertian harfiahnya?
Sisi positifnya, penggunaan istilah bahasa Inggris juga dapat memperkaya kosakata asing dan sebagai ajang latihan untuk bertutur dalam bahasa Inggris. Namun, perlu diingat bahwa jangan sampai kebiasaan penggunaan istilah asing dapat mengaburkan pemahaman kita terhadap bahasa Indonesia.
Memang tidak ada hubungannya antara kemajuan suatu bangsa dengan tingkat kemahiran penggunaan bahasa Inggris. Jepang dan Perancis misalnya, keduanya adalah negara maju. Penduduk kedua negara tersebut sangat bangga dengan bahasa ibu mereka, sehingga tak sedikit penduduk yang tidak ingin mempelajari bahasa asing. Di Perancis saja, setiap tayangan televisi asing pasti akan dialihbahasakan ke dalam bahasa Perancis. Mungkin terdengar sedikit aneh ya, tapi kenapa tidak? Toh, tujuannya pun agar informasinya dapat tersampaikan dengan baik kepada penonton.
Belajar bahasa asing memang penting, terlebih di era globaliasi ini. Namun, kita juga tidak boleh lupa untuk melestarikan bahasa Indonesia. Bukankah bahasa Indonesia tercipta sebagai pemersatu bangsa dengan berbagai latar budaya dan sukunya? Oleh sebab itu, coba deh mulai membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar terutama di ruang publik.
Meskipun demikian, tak selamanya penutur bahasa Inggris ini betul-betul menggunakan bahasa Inggris dalam setiap percakapan. Malahan kini, kebanyakan penutur lebih suka mencapuradukkan antara bahasa Inggris dengan bahasa Indonesia. Kebiasaan mencampuradukkan bahasa inilah yang kerap disebut sebagai gaya bahasa gado-gado atau keminggris.
Nababan dalam bukunya yang berjudul Sosiolinguistik: Suatu Pengantar (1993), bahasa gado-gado lebih sering digunakan dalam situasi informal atau santai. Umumnya, penutur bahasa ini adalah para pebisnis, akademisi, dan pejabat di berbagai lembaga pemerintahan.
Jumlah penutur bahasa gado-gado ini tentu tidak sebanding dengan jumlah total penduduk Indonesia. Setidaknya hanya ada 1-3% saja yang tergolong penutur bahasa gado-gado, yaitu mereka yang terdiri dari kalangan terdidik, yang mendapatkan akses belajar bahasa Inggris di sekolah maupun universitas terbaik hingga belajar ke negara-negara berbahasa Inggris lainnya. Tak pelak, fenomena ini turut menimbulkan ketimpangan sosial yang mengakibatkan munculnya anggapan bahwa mereka yang mampu berbahasa Inggris adalah orang-orang intelek.
Keminggris Demi Gengsi
Hingga jokes anak Jaksel muncul, istilah-istilah bahasa Inggris memang sudah banyak digunakan. Malahan kebiasaan ini sudah menjadi gaya hidup tersendiri dan dianggap sebagai sebuah kewajaran. Sebagian orang tua bahkan berusaha sedini mungkin untuk mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anaknya. Memang tidak salah, terlebih mengajarkan bahasa Inggris kepada anak dilakukan untuk mempersiapkan sang anak menghadapi dunia global. Namun, perlahan tujuan tersebut berubah menjadi abu-abu, digantikan oleh rasa gengsi. Ada perasaan ingin merasa hebat dan "maju" apabila orang tua dan anak mampu bercakap-cakap dalam bahasa Inggris di ruang publik.
Lain orang tua, lain pula dengan anak. Pada anak muda, misalnya, mereka cenderung menggunakan gaya bahasa keminggris karena dipengaruhi oleh lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud tentu erat kaitannya dengan tingkat pendidikan, gaya hidup, ekonomi orang tua hingga tempat tinggal yang berada di perkotaan. Meskipun demikian, tidak semua anak muda fasih dan lancar berbahasa Inggris. Ada pula yang kemampuannya masih kurang, tetapi karena ingin diterima di lingkungan pergaulannya, lantas ia pun sering menyelipkan kosakata dan istilah bahasa Inggris di setiap percakapannya. Harapannya, agar ia terlihat sama "intelek" dan "gaul" seperti teman-teman sepergaulannya.
Fenomena ini semakin menguatkan argumen bahwa bahasa Inggris adalah bahasa kaum intelek dengan kelas sosial lebih tinggi. Sedangkan, bahasa Indonesia sebagai bahasa "terpinggirkan" dianggap sebagai bahasa orang awam atau orang kebanyakan dengan kultur dan latar belakang yang dinilai lebih rendah daripada bahasa Inggris. Ada rasa canggung apabila berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Sebagian orang bahkan merasa lebih malu apabila keliru atau salah menggunakan kosakata berbahasa Inggris ketimbang keliru dalam menggunakan kosakata bahasa Indonesia. Hal ini terjadi akibat adanya rasa inferior, malu dengan identitas bangsanya, lantas mengagung-agungkan dan keblinger dengan budaya dan bahasa asing. Perasaan inilah yang seringkali saya sebut sebagai mental inlander.
Malas Mencari Padanan Bahasa Indonesia
Meskipun istilah-istilah bahasa Inggris sudah lazim digunakan, alangkah sayang apabila kebiasaan ini justru malah menggusur atau malah menghilangkan bahasa kita sendiri. Kebanyakan orang lebih sering menggunakan istilah bahasa Inggris alih-alih mencari padanannya dalam bahasa Indonesia. Bahkan saat ini, bahasa Indonesia sudah menyerap banyak istilah berbahasa Inggris ke dalam Kemus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) secara harfiah. Sebagai contoh adalah "destinasi", "experimen", "edukasi", "selebrasi", dan "manajemen". Padahal kata-kata serapan tersebut dalam ditemukan padanannya dalam bahasa Indonesia, yaitu "tujuan wisata", "percobaan", "pengajaran", "perayaan", dan "pengelolaan".
Bukankah fenomena demikian justru menunjukkan kemalasan kita untuk mencari padanan kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia?
Baca juga: Mempertanyakan Kembali Makna Toleransi di Jogja yang Toleran
Sebetulnya, penggunaan istilah bahasa Inggris tidak dipermasalahkan mengingat ada beberapa istilah yang belum memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia. Sebagai contoh adalah kata phubbing yang apabila diterjemahkan secara harfiah merujuk pada "tindakan acuh tak acuh yang dilakukan seseorang di sebuah lingkungan karena lebih fokus pada gawainya daripada membangun sebuah percakapan". Coba, ada nggak yang bisa menemukan padanan kata phubbing dalam bahasa Indonesia sesuai dengan pengertian harfiahnya?
Sisi positifnya, penggunaan istilah bahasa Inggris juga dapat memperkaya kosakata asing dan sebagai ajang latihan untuk bertutur dalam bahasa Inggris. Namun, perlu diingat bahwa jangan sampai kebiasaan penggunaan istilah asing dapat mengaburkan pemahaman kita terhadap bahasa Indonesia.
Memang tidak ada hubungannya antara kemajuan suatu bangsa dengan tingkat kemahiran penggunaan bahasa Inggris. Jepang dan Perancis misalnya, keduanya adalah negara maju. Penduduk kedua negara tersebut sangat bangga dengan bahasa ibu mereka, sehingga tak sedikit penduduk yang tidak ingin mempelajari bahasa asing. Di Perancis saja, setiap tayangan televisi asing pasti akan dialihbahasakan ke dalam bahasa Perancis. Mungkin terdengar sedikit aneh ya, tapi kenapa tidak? Toh, tujuannya pun agar informasinya dapat tersampaikan dengan baik kepada penonton.
Belajar bahasa asing memang penting, terlebih di era globaliasi ini. Namun, kita juga tidak boleh lupa untuk melestarikan bahasa Indonesia. Bukankah bahasa Indonesia tercipta sebagai pemersatu bangsa dengan berbagai latar budaya dan sukunya? Oleh sebab itu, coba deh mulai membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar terutama di ruang publik.
Post a Comment