Photo by Rhendi Rukmana on UnsplashAdd caption |
Masa-masa kelulusan dan pascawisuda adalah masa yang paling menggalaukan bagi saya. Meski saat itu saya sudah memiliki pekerjaan sampingan, tapi tentu saja saya menginginkan pengalaman lain yang lebih menantang. Sebagai seorang pemimpi, saya juga masih ingin menggapai mimpi-mimpi kecil saya yang belum sempat terwujud. Kegalauan ini pun saya utarakan kepada mama saya, dengan maksud agar mendapat pencerahan. Sebab, bagaimanapun saya masih percaya bahwa restu orang tua itu adalah segalanya.
Sejak dulu, mama saya tidak pernah melarang saya dalam beraktivitas. Asalkan positif, mama pasti setuju-setuju saja dengan segudang kegiatan yang saya ikuti. Beliau juga tidak pernah mengharuskan saya melakukan ini itu, sebaliknya justru menyerahkan segala keputusannya kepada saya. Mama percaya, anak-anaknya mampu memutuskan sesuatu sendiri.
Tapi, sore itu ketika saya sedang galau-galaunya tentang karier, mama saya melontarkan jawaban yang membuat saya agak kecewa. "Mumpung belum menikah, kamu bebas ke mana aja, kerja di mana aja. Tapi ingat, kalau sudah menikah, kamu harus nurut sama suamimu,"
Ketika saya tanya mengapa saya harus menurut dengan calon suami saya kelak, beliau pun kembali melontarkan jawaban yang mengecewakan, "Ya ridho istri itu kan bergantung suami. Kalau kamu nggak dibolehin kerja, ya sudah nggak usah kerja,"
Saat itu, saya benar-benar terhenyak. Kenapa pula saya harus nurut dengan perintah suami kalau semua hal bisa dibicarakan bersama? Bukankah dalam pernikahkan itu, segala keputusan adalah hasil dari kesepakatan bersama?
Di sisi lain, saya paham kenapa mama saya bisa berbicara demikian. Dulunya, mama juga seorang yang aktif seperti saya. Saat sekolah, mama juga mengikuti banyak kegiatan. Kadang-kadang ia juga melancong ke beberapa tempat bersama teman-temannya. Mama bercerita, dulu ia pernah bekerja di tanah perantauan. Jauh dari orang tua membuat ia lebih mandiri dan mampu memutuskan segala sesuatu sendiri.
Namun, terkadang segala sesuatu memang berjalan tidak sesuai dengan kemauan kita. Setelah menikah, mama langsung beralih profesi menjadi ibu rumah tangga sebab harus mendampingi papa saya yang berdinas. Saya rasa tak masalah jika keputusan itu didasari atas kesepakatan bersama. Justru yang menjadi masalah adalah kala itu papa melarang mama saya untuk bekerja. Tanpa alasan.
Saat papa sudah pensiun, giliran mama saya pontang-panting mengelola keuangan. Tiada pemasukan lain selain gaji pensiun, membuat mama harus pintar memutar otak agar keluarga tetap bisa makan dan saya dan adik tetap bisa meneruskan sekolah. Kadang-kadang saya kasihan dan ingin membantu mama, tapi mama melarang saya. Ia bilang, "Nggak usah dipikirkan. Kalo biaya sekolah pasti selalu ada dan diusahakan,". Saat itu saya sedih sekali karena tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati, saya bertekad untuk terus belajar dan menyelesaikan pendidikan saya.
Ketika kuliah, kira-kira pada semester 3, saya memutuskan untuk bekerja part-time. Alasannya simpel aja, selain waktu luang yang kelebihan, saya juga butuh pemasukan keuangan. Apalagi mengingat kebutuhan kuliah saat itu makin banyak dan uang saku saya sangat terbatas. Di sisi lain, saya juga nggak tega minta mama, karena menyekolahkan dua anak dengan keuangan pas-pasan saja sudah cukup berat.
Pada awal saya kerja, papa saya sempat protes. "Ngapain kerja? Nanti kuliahnya gimana?". Beliau memang terkadang suka "membatasi" ruang gerak anak-anaknya yang kebetulan perempuan semua. Saya juga sempat merasa khawatir, bagaimana ya mengatur waktunya? Apalagi aktivitas saya nggak cuma duduk doang di dalam kelas. Tapi nyatanya, setelah dijalani, saya bisa-bisa aja tuh menyeimbangkan antara kuliah, kerja, dan bersosialisasi. Bahkan saya bisa lulus kuliah kurang dari 4 tahun.
Dan karena kerja part-time itulah, saya jadi sadar bahwa memang sebaiknya perempuan itu bisa mandiri secara finansial. Perempuan yang bekerja meski telah menikah bukan dimaksudkan untuk menyaingi laki-laki. Oh, jangan kegeeran gitu dong! Kami perempuan hanya ingin berjaga-jaga saja kok. Kami juga hanya ingin memastikan keluarga kecil kami baik-baik saja. Nasib seseorang bisa berubah kan? Kalau tiba-tiba saja suami kena PHK sementara istri tidak punya pekerjaan atau back up, lantas siapa yang akan menyelamatkan keuangan keluarga? Apa ya tega kalau salah satunya berjuang sendirian demi keberlangsungan hidup?
Pada intinya, saya tidak ingin apa yang terjadi pada mama juga terjadi pada saya. Sebisa mungkin saya juga ingin bekerja ketika sudah menikah. Jikalau kelak suami saya menginginkan saya di rumah saja, saya justru ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Bisakah dia menjamin penghidupan keluarga kami? Bisakah dia menanggung semuanya?
Toh, zaman sekarang bekerja tidak mesti harus di kantor. Ada pekerjaan yang bisa dilakukan secara remote, kapan saja, dan di mana saja. Mau berdagang pun, fasilitas media sosial juga sudah sangat memadai. Jadi, kira-kira kenapa sih para suami itu doyan melarang istrinya ini itu? Gengsi karena takut merasa tersaingi? Atau takut nanti istrinya bakal berani menentang sisi maskulin kalian hanya karena penghasilannya lebih besar?
Ketika bekerja pun, bukan berarti semuanya berjalan mulus. Saya juga pernah kok mendapat celetukan "menyebalkan" dari seorang rekan. Perlu diketahui bahwa ia adalah laki-laki. Ia tahu bahwa saya sering banget bolak-balik kantor dan kampus. Ia juga tahu bahwa kegiatan saya seabrek banyaknya. Tapi, kenapa harus kalimat ini yang dia ucapkan ya?
Saat ia melontarkan kalimat nggatheli tersebut, saya cuma ketawa aja. Nggak ngaruh sih, tapi coba deh dipikir dulu sejenak. Yang kerja itu saya, yang kuliah itu saya, yang menjalani itu saya, kenapa orang lain yang rempong? Lagipula, saya juga nggak minat didekati cowok-cowok yang bisanya cuma jadi benalu. Yang belum apa-apa aja udah larang ini itu. Hadeeeh.
Tapi dasarnya orang baik, saya tetap aja berusaha postivie thinking dengannya. Oh, mungkin saja dia kasihan sama saya yang di matanya seperti kepayahan mengatur waktu. Tapi, saya kan nggak butuh dikasihani! Wong, semua ini saya lakukan atas kemauan sendiri kok.
Saat papa sudah pensiun, giliran mama saya pontang-panting mengelola keuangan. Tiada pemasukan lain selain gaji pensiun, membuat mama harus pintar memutar otak agar keluarga tetap bisa makan dan saya dan adik tetap bisa meneruskan sekolah. Kadang-kadang saya kasihan dan ingin membantu mama, tapi mama melarang saya. Ia bilang, "Nggak usah dipikirkan. Kalo biaya sekolah pasti selalu ada dan diusahakan,". Saat itu saya sedih sekali karena tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam hati, saya bertekad untuk terus belajar dan menyelesaikan pendidikan saya.
Ketika kuliah, kira-kira pada semester 3, saya memutuskan untuk bekerja part-time. Alasannya simpel aja, selain waktu luang yang kelebihan, saya juga butuh pemasukan keuangan. Apalagi mengingat kebutuhan kuliah saat itu makin banyak dan uang saku saya sangat terbatas. Di sisi lain, saya juga nggak tega minta mama, karena menyekolahkan dua anak dengan keuangan pas-pasan saja sudah cukup berat.
Pada awal saya kerja, papa saya sempat protes. "Ngapain kerja? Nanti kuliahnya gimana?". Beliau memang terkadang suka "membatasi" ruang gerak anak-anaknya yang kebetulan perempuan semua. Saya juga sempat merasa khawatir, bagaimana ya mengatur waktunya? Apalagi aktivitas saya nggak cuma duduk doang di dalam kelas. Tapi nyatanya, setelah dijalani, saya bisa-bisa aja tuh menyeimbangkan antara kuliah, kerja, dan bersosialisasi. Bahkan saya bisa lulus kuliah kurang dari 4 tahun.
Dan karena kerja part-time itulah, saya jadi sadar bahwa memang sebaiknya perempuan itu bisa mandiri secara finansial. Perempuan yang bekerja meski telah menikah bukan dimaksudkan untuk menyaingi laki-laki. Oh, jangan kegeeran gitu dong! Kami perempuan hanya ingin berjaga-jaga saja kok. Kami juga hanya ingin memastikan keluarga kecil kami baik-baik saja. Nasib seseorang bisa berubah kan? Kalau tiba-tiba saja suami kena PHK sementara istri tidak punya pekerjaan atau back up, lantas siapa yang akan menyelamatkan keuangan keluarga? Apa ya tega kalau salah satunya berjuang sendirian demi keberlangsungan hidup?
Pada intinya, saya tidak ingin apa yang terjadi pada mama juga terjadi pada saya. Sebisa mungkin saya juga ingin bekerja ketika sudah menikah. Jikalau kelak suami saya menginginkan saya di rumah saja, saya justru ingin mengajukan beberapa pertanyaan kepadanya. Bisakah dia menjamin penghidupan keluarga kami? Bisakah dia menanggung semuanya?
Toh, zaman sekarang bekerja tidak mesti harus di kantor. Ada pekerjaan yang bisa dilakukan secara remote, kapan saja, dan di mana saja. Mau berdagang pun, fasilitas media sosial juga sudah sangat memadai. Jadi, kira-kira kenapa sih para suami itu doyan melarang istrinya ini itu? Gengsi karena takut merasa tersaingi? Atau takut nanti istrinya bakal berani menentang sisi maskulin kalian hanya karena penghasilannya lebih besar?
Ketika bekerja pun, bukan berarti semuanya berjalan mulus. Saya juga pernah kok mendapat celetukan "menyebalkan" dari seorang rekan. Perlu diketahui bahwa ia adalah laki-laki. Ia tahu bahwa saya sering banget bolak-balik kantor dan kampus. Ia juga tahu bahwa kegiatan saya seabrek banyaknya. Tapi, kenapa harus kalimat ini yang dia ucapkan ya?
"Kamu jangan serius-serius banget kerja sama kuliahnya. Nanti cowok-cowok takut deketin kamu lho,"
Saat ia melontarkan kalimat nggatheli tersebut, saya cuma ketawa aja. Nggak ngaruh sih, tapi coba deh dipikir dulu sejenak. Yang kerja itu saya, yang kuliah itu saya, yang menjalani itu saya, kenapa orang lain yang rempong? Lagipula, saya juga nggak minat didekati cowok-cowok yang bisanya cuma jadi benalu. Yang belum apa-apa aja udah larang ini itu. Hadeeeh.
Tapi dasarnya orang baik, saya tetap aja berusaha postivie thinking dengannya. Oh, mungkin saja dia kasihan sama saya yang di matanya seperti kepayahan mengatur waktu. Tapi, saya kan nggak butuh dikasihani! Wong, semua ini saya lakukan atas kemauan sendiri kok.
Post a Comment