Pict by: me |
Sekali lagi, Mbah Pram membuat saya terkesima sebab ia menyuguhkan cerita perjuangan secara ciamik. Saya ingat sekali ketika belajar sejarah di sekolah dulu, isinya hanya soal pengalaman "orang-orang besar dan orang-orang tua" melulu. Tak mengherankan jika sejarah dianggap pelajaran paling membosankan.
Tapi, buku ini begitu apik menceritakan arti perjuangan dari sisi seorang wanita bernama Larasati. Profesi utamanya adalah seorang aktris sebab ia begitu sering terlibat dalam sebuah pertunjukkan. Dan karena bakatnya yang luar biasa, ia pun kerap didapuk untuk memainkan peran dalam sebuah film. Sudah parasnya ayu, berbakat, pandai bergaul, wajar jika banyak orang menyukainya. Di dalam cerita, hal-hal inilah yang kemudian membawanya kepada sebuah keberuntungan, yang mungkin saja tidak akan didapatkan oleh perempuan lain.
Larasati atau Ara adalah potret perjuangan kaum awam, yang tidak melulu soal kekerasan dan adu senjata. Larasati punya caranya sendiri. Berbekal dari keberuntungan yang dimilikinya, ia bisa menempuh jarak dari pedalaman (Yogya) menuju pendudukan (Jakarta) demi sebuah kepastian. Dan selama perjalanan itulah, perjuangannya digambarkan dengan sengit meski tetap mempertahankan sifatnya yang santun seperti wanita kelas menengah.
Baca juga: Marlina, Simbol Resistensi Perempuan
Baca juga: Marlina, Simbol Resistensi Perempuan
Di zaman perang, hampir mustahil bila masih menemukan seniman yang berkarya di ruang publik. Umumnya mereka banyak kehilangan pekerjaan karena siapa sih yang akan memperkerjakan seniman sementara orang-orang sedang memperjuangkan revolusi? Begitu pula dengan Ara.
Meski dirinya hendak mengadu nasib ke daerah pendudukan Hindia Belanda, hatinya tetap pada Republik. Sepanjang jalan, karena namanya begitu termahsyur, ia banyak dielu-elukan orang. Bahkan ada yang dengan sengaja melempar kepadanya sebuah selendang berwarna merah. Kelak, selendang itulah yang menjadi saksi hidup dan matinya.
Rupa-rupanya, tidak hanya pemerintah Republik saja yang menaruh harapan kepadanya. Pemerintah NICA pun sama inginnya. Ketika memasuki Cikampek, angan-angannya meraih kepastian di Jakarta pun sirna. Batinnya bergejolak, menjadi khawatir tidak menentu.
Ketika sampai di Bekasi yang jaraknya hanya di ujung mata dari daerah pendudukan, Larasati terpaksa bergumul dengan serdadu NICA setelah melewati pemeriksaan yang tidak senonoh. Dengan tertawa-tawa dan sikap yang sok bersahabat, petinggi "pengkhianat" itu menginginkan dia bergabung sebagai pihaknya. Sebagai seorang pejuang, tentu ia tidak mau. Ia bahkan dengan keras kepala menghardik pimpinan gerombolan tersebut yang mengakibatkan dirinya harus "bertamasya" di dalam penjara.
Larasati adalah citra seorang wanita rupawan. Hidupnya yang bertabur dengan kemasyhuran sebab memang demikian orang-orang memujinya, tentu ia tidak pernah membayangkan betapa penjara masa itu adalah seburuk-buruknya sebuah mimpi. Ia tak kuasa menahan tangis ketika melihat seorang tahanan yang sedang sekarat. Diam-diam tersemat dendam di sanubarinya. Ia tidak ingin Revolusi kalah oleh para pengkhianat!
Seperti roman-roman lainnya, membaca Larasati seolah-olah membawaku kepada berbagai ruang. Ruang-ruang itulah yang mengalir secara runtut, sehingga pembaca tidak akan bosan menyelami sepanjang cerita. Mbah Pram selalu saja berhasil membuat ekspektasiku keliru. Ia terlampau lihai memberikan kejutan di masing-masing sekuel cerita.
Baca juga: Kisah Pilu Gadis Pantai dalam Cengkeraman Feodal
Melalui Larasati, Mbah Pram bermaksud menunjukkan kepada kita bahwa seni kerapkali dijadikan propaganda politik. Terutama di bidang seni peran. Alasannya simpel saja, seni mampu memasuki alam bawah sadar seseorang, sehingga dapat mengubah pandangan orang tersebut tanpa harus beradu senjata di medan pertempuran. Sebagai contoh adalah propaganda film G30S/PKI yang digunakan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya sekaligus menumbuhkan rasa "benci" kepada mereka yang dianggap sebagai komunis. Contoh lain adalah kampanye parpol yang menggandeng artis atau penyanyi terkenal demi mendulang suara. Semua semata dilakukan hanya untuk mendapat legitimasi.
Sama halnya yang terjadi dengan Larasati. Ketika ditangkap di Bekasi, ia bertemu dengan seorang kawan lama yang berwatak licik dan ingin mencari aman. Mardjohan, orang itu, menawarkan kepadanya sebuah peran film dokumentasi pengungsian yang digunakan sebagai propaganda Belanda. Namun, semua itu ditolak mentah-metah olehnya. Larasati setia mendukung Republik meski akhirnya ia harus hidup susah dan menderita di daerah pendudukan.
Bagiku, sosok Larasati menggambarkan bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu tidak hanya urusan kaum laki-laki. Selama ini, sejarah kita terlalu banyak menampilkan peran laki-laki. Kita abai terhadap peran perempuan, padahal mereka juga sama banyak kontribusinya demi keutuhan bangsa.
Roman-roman yang ditulis oleh Mbah Pram ini adalah bukti, dengan banyak perempuan sebagai tokoh utamanya, bahwa sejarah itu tidak hanya milik laki-laki. Sejarah itu tidak maskulin. Perempuan juga berhak menggoreskan nama dan kisahnya di dalam buku sejarah.
Rupa-rupanya, tidak hanya pemerintah Republik saja yang menaruh harapan kepadanya. Pemerintah NICA pun sama inginnya. Ketika memasuki Cikampek, angan-angannya meraih kepastian di Jakarta pun sirna. Batinnya bergejolak, menjadi khawatir tidak menentu.
Ketika sampai di Bekasi yang jaraknya hanya di ujung mata dari daerah pendudukan, Larasati terpaksa bergumul dengan serdadu NICA setelah melewati pemeriksaan yang tidak senonoh. Dengan tertawa-tawa dan sikap yang sok bersahabat, petinggi "pengkhianat" itu menginginkan dia bergabung sebagai pihaknya. Sebagai seorang pejuang, tentu ia tidak mau. Ia bahkan dengan keras kepala menghardik pimpinan gerombolan tersebut yang mengakibatkan dirinya harus "bertamasya" di dalam penjara.
Larasati adalah citra seorang wanita rupawan. Hidupnya yang bertabur dengan kemasyhuran sebab memang demikian orang-orang memujinya, tentu ia tidak pernah membayangkan betapa penjara masa itu adalah seburuk-buruknya sebuah mimpi. Ia tak kuasa menahan tangis ketika melihat seorang tahanan yang sedang sekarat. Diam-diam tersemat dendam di sanubarinya. Ia tidak ingin Revolusi kalah oleh para pengkhianat!
Seperti roman-roman lainnya, membaca Larasati seolah-olah membawaku kepada berbagai ruang. Ruang-ruang itulah yang mengalir secara runtut, sehingga pembaca tidak akan bosan menyelami sepanjang cerita. Mbah Pram selalu saja berhasil membuat ekspektasiku keliru. Ia terlampau lihai memberikan kejutan di masing-masing sekuel cerita.
Baca juga: Kisah Pilu Gadis Pantai dalam Cengkeraman Feodal
Melalui Larasati, Mbah Pram bermaksud menunjukkan kepada kita bahwa seni kerapkali dijadikan propaganda politik. Terutama di bidang seni peran. Alasannya simpel saja, seni mampu memasuki alam bawah sadar seseorang, sehingga dapat mengubah pandangan orang tersebut tanpa harus beradu senjata di medan pertempuran. Sebagai contoh adalah propaganda film G30S/PKI yang digunakan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya sekaligus menumbuhkan rasa "benci" kepada mereka yang dianggap sebagai komunis. Contoh lain adalah kampanye parpol yang menggandeng artis atau penyanyi terkenal demi mendulang suara. Semua semata dilakukan hanya untuk mendapat legitimasi.
Sama halnya yang terjadi dengan Larasati. Ketika ditangkap di Bekasi, ia bertemu dengan seorang kawan lama yang berwatak licik dan ingin mencari aman. Mardjohan, orang itu, menawarkan kepadanya sebuah peran film dokumentasi pengungsian yang digunakan sebagai propaganda Belanda. Namun, semua itu ditolak mentah-metah olehnya. Larasati setia mendukung Republik meski akhirnya ia harus hidup susah dan menderita di daerah pendudukan.
Bagiku, sosok Larasati menggambarkan bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan itu tidak hanya urusan kaum laki-laki. Selama ini, sejarah kita terlalu banyak menampilkan peran laki-laki. Kita abai terhadap peran perempuan, padahal mereka juga sama banyak kontribusinya demi keutuhan bangsa.
Roman-roman yang ditulis oleh Mbah Pram ini adalah bukti, dengan banyak perempuan sebagai tokoh utamanya, bahwa sejarah itu tidak hanya milik laki-laki. Sejarah itu tidak maskulin. Perempuan juga berhak menggoreskan nama dan kisahnya di dalam buku sejarah.
Post a Comment