Photo by: Tabloid Bintang |
Aku juga manusia biasa yang terus belajar untuk memurnikan diri tanpa menghakimi batas hasratku.
Sekilas, dari judulnya saja saya sudah mengamini bahwa tokoh Maryam memiliki pergolakan batin yang berhubungan dengan keimanan. Bagaimanapun juga nama Maryam merujuk pada seorang perawan dan ibu dari Isa AS yang namanya cukup familiar dengan umat Islam. Namun, penonton juga perlu tahu dan membuka mata bahwa sosok yang dimaksud bukan kesayangan satu umat saja. Nyatanya, umat Nasrani lebih suka memanggilnya dengan sebutan Maria.
Baik Maryam maupun Maria, tidak ada bedanya bagi saya. Toh, sosok yang dimaksud adalah orang yang sama. Interpretasi manusia saja yang acapkali berbeda.
Maryam adalah tokoh utama dalam film ini. Protagonis. Ia mengabdikan diri dan hidupnya sebagai biarawati di sebuah susteran di Semarang. Sehari-hari, ia bertugas untuk mengurusi keperluan rumah tangga dan juga merawat para suster yang sudah sepuh, termasuk soal memberi mereka makan dan memandikan mereka. Sebagai seorang suster, tentu ia juga sibuk dengan kegiatan keagamaan di gereja.
Kehidupan Maryam di susteran diperlihatkan secara datar dengan alur yang lambat. Sesekali saja ia menghibur dirinya dengan berkeliling untuk membeli buku dan membacanya menjelang tidur. Yang menarik adalah bagaimana di film ini Maryam terlihat sedang membaca buku-buku yang temanya dianggap tabu bagi orang yang sudah mengucapkan kaul, yaitu erotisme.
Baca juga: Marlina, Simbol Resistensi Perempuan
Kaul adalah janji suci, meliputi kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan yang diikrarkan seseorang apabila hendak mengabdi kepada Tuhan (dalam hal ini pastor atau suster). Apa yang dilakukan Maryam ini, saya yakin, adalah salah satu wujud pergolakan batinnya.
Baca juga: Marlina, Simbol Resistensi Perempuan
Kaul adalah janji suci, meliputi kemiskinan, kemurnian, dan ketaatan yang diikrarkan seseorang apabila hendak mengabdi kepada Tuhan (dalam hal ini pastor atau suster). Apa yang dilakukan Maryam ini, saya yakin, adalah salah satu wujud pergolakan batinnya.
Namun, kehidupan Maryam yang biasa-biasa saja seketika berubah ketika muncul biarawati senior bernama Suster Monic kembali ke susteran. Dan ia tak sendiri. Ada pastor muda bernama Yosef yang ikut bersamanya dan hadir sebagai pastor baru di gereja setempat. Kehadiran Yosef mampu mengisi relung jiwanya yang sepi. Ia pun mulai jatuh cinta kepada sang romo.
Pada dasarnya, jatuh cinta itu wajar. Semua orang pasti mengalaminya. Namun, ada kalanya cinta bisa menjadi petaka terutama bagi mereka yang sudah berikrar setia untuk mengabdi kepada Tuhan. Ada konsekuensi besar menanti bila mereka sampai terjatuh pada cinta terlarang.
Ave Maryam berhasil membawa warna baru di kancah perfilman Indonesia. Ia telah menghadirkan sisi lain kehidupan kaum minoritas yang mungkin saja sering kita pertanyakan keberadaannya. Hebatnya, ia juga mampu menjabarkan topik sensitif, yaitu kisah cinta antara seorang suster dan pastor/romo, secara apik dan elegan.
Namun, pergulatan batin yang dihadapi Maryam kurang tersampaikan. Dari mimik wajahnya saja, saya sudah paham bahwa ia banyak menanggung beban berat. Antara memenuhi janji sebagai seorang suster atau memuaskan keinginannya sendiri sebagai seorang manusia biasa. Yang amat disesalkan, latar belakang kehidupannya juga tidak banyak diekspos (saya yakin ini juga akibat adanya pemotongan adegan), sehingga penonton yang masih awam pun terpaksa bergumul dengan asumsinya sendiri.
Baca juga: Imaji-imaji Liar dalam Cinta Tak Ada Mati
Padahal cerita yang disampaikan sangat menarik. Tentang bagaimana seseorang memilih jalannya sendiri untuk mencari kebahagiaan. Dan tentang bagaimana proses mencari kebahagiannya itu terhalang oleh prinsip dan keyakinan yang telah dia jalani.
Meskipun demikian, ada satu pesan moral yang cukup menohok bagi saya. Ada suatu adegan ketika suster Monic, yang ternyata mengetahui isi hati Maryam, melontarkan sebuah pesan tanpa nada menceramahi apalagi menggurui. Berikut pesannya.
Menonton Ave Maryam tentu tidak bisa dimaknai secara mentah-mentah. Sebab, banyak sekali unsur intrinsik yang jika direnungkan menjadi sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Film ini mengajarkan saya bahwa setiap orang berhak menentukan pilihannya sendiri. Dan kita juga wajib untuk menghargai segala pilihan hidup orang lain.
Pada dasarnya, jatuh cinta itu wajar. Semua orang pasti mengalaminya. Namun, ada kalanya cinta bisa menjadi petaka terutama bagi mereka yang sudah berikrar setia untuk mengabdi kepada Tuhan. Ada konsekuensi besar menanti bila mereka sampai terjatuh pada cinta terlarang.
Ave Maryam berhasil membawa warna baru di kancah perfilman Indonesia. Ia telah menghadirkan sisi lain kehidupan kaum minoritas yang mungkin saja sering kita pertanyakan keberadaannya. Hebatnya, ia juga mampu menjabarkan topik sensitif, yaitu kisah cinta antara seorang suster dan pastor/romo, secara apik dan elegan.
Namun, pergulatan batin yang dihadapi Maryam kurang tersampaikan. Dari mimik wajahnya saja, saya sudah paham bahwa ia banyak menanggung beban berat. Antara memenuhi janji sebagai seorang suster atau memuaskan keinginannya sendiri sebagai seorang manusia biasa. Yang amat disesalkan, latar belakang kehidupannya juga tidak banyak diekspos (saya yakin ini juga akibat adanya pemotongan adegan), sehingga penonton yang masih awam pun terpaksa bergumul dengan asumsinya sendiri.
Baca juga: Imaji-imaji Liar dalam Cinta Tak Ada Mati
Padahal cerita yang disampaikan sangat menarik. Tentang bagaimana seseorang memilih jalannya sendiri untuk mencari kebahagiaan. Dan tentang bagaimana proses mencari kebahagiannya itu terhalang oleh prinsip dan keyakinan yang telah dia jalani.
Meskipun demikian, ada satu pesan moral yang cukup menohok bagi saya. Ada suatu adegan ketika suster Monic, yang ternyata mengetahui isi hati Maryam, melontarkan sebuah pesan tanpa nada menceramahi apalagi menggurui. Berikut pesannya.
Jika surga saja belum pasti untukku, buat apa nerakamu menjadi urusanku.
Menonton Ave Maryam tentu tidak bisa dimaknai secara mentah-mentah. Sebab, banyak sekali unsur intrinsik yang jika direnungkan menjadi sangat relevan dengan kehidupan kita sehari-hari. Film ini mengajarkan saya bahwa setiap orang berhak menentukan pilihannya sendiri. Dan kita juga wajib untuk menghargai segala pilihan hidup orang lain.
Post a Comment