Dad needs daughter. Pict by: jasonisaacs |
12 November. Hari ini adalah Hari Ayah. Seharusnya aku ikut bersuka cita seperti yang anak-anak lainnya dengan menceritakan pengalaman dan kebaikan ayah, tapi ternyata aku tidak bisa. Mungkin, belum bisa atau malah tidak akan bisa. Sebab, aku sendiri belum menemukan alasan kenapa aku harus ikut merayakan Hari Ayah.
Wajar, jika Hari Ayah terasa sama saja seperti hari lainnya. Tidak ada yang spesial apalagi kejutan istimewa. Ada maupun tidak, rasanya aku sudah tidak begitu peduli dengan Hari Ayah.
Aku menulis ini bukan karena hubunganku dengan ayah tidak baik-baik saja. Bukan pula karena sosok ayah sudah tiada. Oh, ini tidak seburuk sangkaanmu kok.
Aku hanya ingin mengingatkan tidak semua orang bisa berbahagia saat Hari Ayah tiba. Tidak semua orang punya sosok ayah yang dikagumi. Tidak semua orang bisa mendapatkan kasih sayang yang cukup dari ayah. Dan tidak semua orang bisa mengenal ayahnya. Betapa beruntungnya engkau jika ketiga hal tadi bisa kau dapatkan sekaligus.
Sejak kecil, aku memang tidak terlalu dekat dengan ayahku. Beberapa foto dalam album memang menunjukkan bahwa ayahku pun turut andil dalam mengurusku yang masih bocah cengeng. Itu pun tidak banyak.
Ketika beranjak dewasa, entah kenapa hubunganku dengannya terasa semakin berjarak. Ia kini menjadi sosok asing bagiku. Yang paling menyedihkan, aku dan dia tidak pernah mengobrol secara intens, hanya seperlunya saja. Sekadarnya saja. Dan apa adanya saja.
Kadang-kadang muncul rasa iri dalam hati ketika sedang melihat potret bahagia sebuah keluarga. Lebih-lebih ketika melihat anak perempuan bergandengan dengan ayahnya dengan riang atau seorang gadis yang berbicara dengan asyiknya kepada ayahnya. Ada sebuah rasa mengatakan, aku juga ingin merasakan hal yang sama.
Bertahun-tahun hidup serumah dengan ayah, nyatanya tidak lantas membuatku mengenalnya dengan baik seperti anak-anak lainnya. Sayang sekali, ayahku tidak seperti ciri-ciri ayah idaman yang sering digembar-gemborkan oleh artikel hubungan.
Ayah sangat jarang jarang mengajakku bicara dan berdiskusi, ayah tidak pernah mau mengambilkan rapotku di sekolah, ayah terlihat tidak ingin berusaha memuji jika anak-anaknya memperoleh prestasi gemilang, ayah yang jarang mengucap maaf ketika bersalah, ayah yang tidak mengucapkan terima kasih setelah dimasakkan masakan kesukaannya, dan ayah yang kadang-kadang membentak atau berkata yang menyakitkan hati di kala sedang terjadi perdebatan di dalam rumah.
Namun, yang paling menyedihkan dari semuanya, ayah belum bisa memberikan kepercayaan sepenuhnya kepada anak-anak gadisnya. Bahkan ketika semua anak gadisnya sudah beranjak dewasa dan mulai berusia kepala dua, kepercayaan masih terasa sangat mewah bahkan dalam angan-angan sekalipun.
Meskipun rasanya menyebalkan dan seringkali merasa tidak mampu bertahan, tapi lama-lama aku bisa berdamai dengan keadaannya. Mungkin, memang begitulah ayahku. Sampai kapan pun, wataknya yang terlalu keras tidak akan bisa melunak. Satu-satunya cara agar aku tetap waras adalah memakluminya, tanpa harus mengorbankan kebahagiaan diri sendiri.
Ayah, jika kau membaca ini, tidak apa-apa. Aku tidak marah apalagi benci kepadamu. Aku hanya bisa mendoakan kebaikan untukmu, semoga dengan berjalannya waktu, engkau bisa lebih memahami dan mengerti anak gadismu ini.
NB: Cerita ini berdasarkan kisah nyata meski nggak nyata-nyata banget sih hehe
Post a Comment