Arini, Ibu, dan Ican |
Sudah setahun sejak saya menonton Love for Sale yang pertama, saya masih saja dibuat terkesima oleh sosok Arini. Arini yang kelihatannya gadis baik-baik, penyayang sekaligus mampu mengayomi itu bisa banget bikin Richard patah hati sepatah-patahnya. Mungkin, inilah definisi sesungguhnya ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Perih bro!
Meskipun terkesan “jahat”, tapi saya nggak bisa 100% menyalahkan Arini. Ya gimana ya, emang udah tugas dia kan buat jadi pendamping Richard? Toh, kesalahan Arini hanya satu, ia terlalu menjiwai perannya. Saking menjiwainya, kehidupan cinta Richard dan Arini seolah-olah normal saja selayaknya pasangan pada umumnya. Tidak ada rencana, tidak ada ekspektasi, semua mengalir begitu saja. Kekuatan cinta ternyata sedahsyat itu ya.
Berbekal dengan promo debit VISA BOGO di Cinemaxx, saya pun memutuskan untuk menonton sekuel keduanya. Selain karena (makin) penasaran dengan sosok Arini, saya juga pengen nonton akting Adipati Dolken yang terkenal uwuw di kalangan sista-sista. Hehe.
Berbeda dengan Love for Sale dengan kisah cinta dramatis dan bikin hati meringis, Love for 2 rupanya menawarkan kisah cinta yang jauh lebih kompleks dan rumit. Nuansanya sangat kental dengan budaya Sumatera Barat. Ditambah lagi, kehadiran pemikiran-pemikiran ala Baby Boomers membuat kisah jadi terasa lebih relate dengan kehidupan sehari-hari.
Sang tokoh utama adalah Indra Tauhid alias Ican, pemuda 32 tahun yang sering sekali diceramahi soal pasangan oleh orang-orang di sekitarnya. Sebagai anak tengah dan satu-satunya yang masih betah melajang dan freesex, ibunya tentu khawatir kalau ia akan menjadi bujang lapuak.
Baca juga: Bumi Manusia dan Ekspektasi yang Keterlaluan
Baca juga: Bumi Manusia dan Ekspektasi yang Keterlaluan
Yah, namanya juga anak millenial. Persoalan jodoh dan pernikahan seringkali jadi topik yang sangat menyebalkan apalagi jika masih betah menjadi jomlo. Karena nggak tahan ditanya-tanya soal pasangan, Ican pun memilih untuk menyewa “pasangan ideal” sesuai dengan kriteria kesukaan ibunya alias yang Padang banget!
Nah, di bagian inilah yang memberikan ciri khas pada sekuel film Love for Sale. Tokoh laki-lakinya sama-sama lajang tapi nggak tahan diomongin orang-orang sekitar. Lantas, terpaksa menyewa jasa “pacar ideal” supaya hidupnya nggak dikira ngenes-ngenes banget.
Bedanya, di sekuel pertama, Arini Kusuma tuh keliatan banget sebagai perempuan yang penuh inisiatif (kadang-kadang juga agresif sih). Sesekali ia juga terlihat lihai berkelit alias ngeles. Sedangkan di sekuel kedua, Arini menjelma jadi anak gadis yang kalem dan cenderung pasif. Namanya pun berubah menjadi Arini Chaniago.
Sejujurnya, saya kagum banget sama Arini. Pembawaannya itu lho mantap betul! Sebagai “pasangan ideal sewaan”, dia sangat professional memerankan perannya, terutama di keluarga Ican. Nggak heran kalau ibunya Ican sayang banget sama dia. Bahkan sampai punya panggilan kesayangan upiak seperti anak gadisnya sendiri.
Dari awal menonton film ini, saya juga agak-agak gemas gimana gitu sama Richard maupun Ican. Seharusnya mereka baca dong term and conditions sebelum pesan jasa Arini. Tapi yah, mungkin mereka adalah gambaran orang-orang kebanyakan yang suka asal klik aja tanpa baca aturan. Lantas ketika ada kendala penggunaan, komplainnya masyaAllah rewelnya!
Jadi, menurut saya, wajar aja sih kalau Arini tega meninggalkan mereka di saat lagi sayang-sayangnya. Namanya juga “pacar sewaan”, ada batas waktunya. Betul tidak?
Baca juga: Menyingkap Pergulatan Batin Sang Maryam
Baca juga: Menyingkap Pergulatan Batin Sang Maryam
Sayangnya, kisah Love for Sale 2 ternyata nggak spesial-spesial amat telor kali spesial. Meski mengangkat persoalan sehari-hari, seperti memiliki pasangan dan menikah, tapi jalan ceritanya b aja gitu. Kisah Ican dan Arini pun terasa kurang fokus karena terlalu banyak polemik rumah tangga yang disuguhkan.
Barulah di pertengahan film, kisah cinta Ican dan Arini terlihat jelas dan nyata meski nggak terkesan natural seperti kisah cinta Richard dan Arini. Saya juga ragu kapan Ican benar-benar jatuh cinta kepada Arini, sebab keduanya memang jarang terlihat bersama. Bahkan adegan deeptalk yang berujung pada ciuman mesra baru disuguhkan setelah keduanya terlihat makan sate bareng, duduk di pinggiran jalan, dan gandengan tangan di sepanjang trotoar. Aduuuh bagian ini sih yang bikin saya baper maksimal :(
Selebihnya, saya nggak melihat adanya kedekatan di antara Ican dan Arini. Malahan, hubungan personal Arini jauh lebih dekat kepada Ibu Rosmaidah. Beberapa kali mereka terlibat pembicaraan serius dan mendalam. Saya yakin, obrolan antara Arini dan Ibu hanya bisa terjadi jika sudah saling percaya dan menyayangi.
Yang disayangkan lagi, ending-nya ketebak banget! Memang sih dari sejak film belum dimulai, saya udah tahu kalau lagi-lagi Arini yang harus meninggalkan. Akan selalu ada perpisahan. Tapi, entah kenapa, kok b aja gitu seolah-olah nggak ada elemen lain yang bakal bikin penonton terhenyak seperti film sebelumnya.
Namun, terlepas dari itu, saya salut banget dengan aktingnya Bu Ratna Riantiarno. Katanya sih beliau orang asli Manado, tapi di film ini beliau cocok sekali menjadi emak-emak Padang! Bawelnya dan rewelnya nggak ketulungan tapi kasih sayangnya juga enggak nanggung-nanggung. Meski bukan sebagai pemeran utama, tapi karakter dan pembawaannya justru membuat film ini jadi lebih hidup.
Post a Comment