Photo by Vedant Modi from Pexels |
Beberapa waktu lalu saat saya sedang asyik-asyiknya scrolling Twitter, saya menemukan (lagi) tulisan yang sejak dulu membuat hati saya resah. Dalam cuitan akun bernama @aulmaulidiana, ia menyebutkan bahwa sebelum ia mengenakan hijab, bapaknya pernah mengatakan kepadanya “Kalau kamu satu langkah keluar rumah tanpa hijab, kamu membuat bapak satu langkah masuk neraka. Artinya, kamu tidak sayang bapak.”
Saya langsung tersentak. Kenapa omongan intimidatif seperti ini sering dijadikan konten sih? Emang nggak punya bahan lagi buat bikin konten kebaikan yang bernada lemah lembut?
Wajar jika saya terpancing karena toh saya juga perempuan, kebetulan seorang muslimah dan tidak mengenakan hijab. Di umur yang hampir mencapai seperempat abad ini, bisa dibilang saya hanya beberapa kali mengenakan hijab. Pertama, dulu saat pelajaran agama Islam di sekolah. Kedua, ketika mengikuti pengajian atau kajian keagamaan. Ketiga, kadang-kadang saat Lebaran. Itupun seringnya hanya menyampirkan pashmina di kepala saya. Sehari-seharinya, saya lebih nyaman menjadi diri saya sendiri tanpa mengenakan hijab.
Saya tidak habis pikir, kenapa harus memakai kalimat bernada ancaman hanya untuk sekadar mengingatkan? Kenapa perempuan selalu disudutkan, dipaksa bahkan diintimidasi tasfir-tafsir keagamaan yang patriarkis?
Saya memang bukan ahli kitab apalagi peneliti hadis, tapi setahu saya, Islam itu tidak mengenal konsep menanggung dosa orang lain. Kalau seseorang sudah baligh (apabila dia laki-laki maka ditandai dengan keluarnya air mani dan perempuan ditandai dengan menstruasi), maka perkara dosa akan ditanggung dirinya sendiri. Tidak ada urusannya dengan orang lain, meskipun itu adalah orang tua.
Menurut keterangan beberapa orang yang pernah mondok atau sedang belajar ilmu fiqh, hadis yang mengatakan bahwa "Satu langkah wanita keluar rumah tanpa menutup aurat, satu langkah pula ayahnya hampir masuk neraka. Satu langkah seorang istri keluar rumah tanpa menutup aurat, satu langkah suaminya hampir masuk neraka" adalah hadis yang diragukan kesahihannya alias palsu. Sebab, “hadis” tersebut tidak ditemukan sanadnya dan kitab rujukannya pun tidak jelas asal usulnya.
Contoh hadis yang sering muncul di linimasa. |
Padahal perkara menisbatkan sesuatu perkataan atau ungkapan yang berasal dari Rasullullah SAW bukan pekerjaan mudah dan nggak sembarang orang bisa melakukannya. Konsekuensinya berat banget. Beberapa ulama saja masih banyak berdebat soal hadis dan tafsirannya, lha kok bisa-bisanya ada orang sengaja berbohong seolah-olah merupakan kalimat-kalimat yang diucapkan Nabi. Hih!
Bagi saya, hijab itu adalah sebuah pilihan. Terlepas dari dosa atau tidaknya–lagian kita siapa sih kok berani hitung-hitungan dosa–saya pikir, setiap perempuan muslimah bebas menentukan hendak berpakaian seperti apa. Mau bercadar juga boleh, silakan, asalkan itu benar-benar atas keputusan sendiri bukan atas dasar “menyenangkan hati” orang lain.
Selama berpakaian pantas dan sopan, saya rasa nggak masalah juga ketika seorang muslimah memutuskan untuk tidak mengenakan hijab. Intinya, tahu menempatkan diri aja.
Beberapa orang pernah bilang, “Pakai hijab saja dulu, nanti akhlaknya juga akan mengikuti kok”. Mon maap, tapi menurut saya nggak ada hubungannya lho antara akhlak dengan cara berpakaian seseorang. Apakah jika perempuan muslimah mengenakan hijab langsung auto solehah?
Coba deh lihat, koruptor-koruptor wanita yang mendadak mengenakan hijab setelah kena “razia” KPK di persidangan. Apakah dengan mengenakan hijab, mereka bisa terbebas dari hukuman? Apakah hijab bikin mereka terlihat lebih suci? Enggak kan?
Kadang-kadang saya juga sering melihat komentar netizen seperti “Pakai hijab kok begitu kelakuannya”. Yaelah bro sis. Tolong dipahami deh, nggak ada sangkut pautnya antara cara berpakaian seperti hijab dengan perilaku seseorang. Jadi, meskipun dia berhijab tapi kelakuannya buruk, jangan salahkan hijabnya dong! Pun kalau dia berperilaku baik tapi kebetulan saja tidak menutup kepala, ya jangan dihujat apalagi dinyinyirin.
Baca juga: Bukan Pakaian Kami yang Salah, Tapi Otakmu yang Ngeres
Baca juga: Bukan Pakaian Kami yang Salah, Tapi Otakmu yang Ngeres
Ada juga yang pernah bilang, “Hijab kan kewajiban buat muslimah!”. Baiklah, argumen tersebut masih bisa saya terima. Tapi jangan lantas merisak, mencibir bahkan mengucilkan muslimah yang belum menutup kepala. Apalagi kalau sudah pakai jurus andalan “maaf sekadar mengingatkan”, kok rasanya jadi paling suci dan benar sendiri. Mengingatkan itu baik, tapi adabnya adalah jangan di ruang publik. Mengingatkan tapi kok rasanya kaya mempermalukan.
Jikalau masih ngotot ingin mengingatkan, oke gapapa, silakan. Tapi mbok tolong gunakan nada dan bahasa yang santun dan lemah lembut. Rasulullah saja tidak pernah menyuruh-nyuruh atau memaksa perempuan untuk berhijab. Malahan beliau sendiri yang mewanti-wanti kaum lelaki untuk menundukkan pandangannya terlebih dahulu.
Saya pikir, kehidupan ini pasti akan damai dan indah jika di antara kita bisa saling menghargai. Hargai saja pilihan perempuan dan jangan merasa paling suci. Islam itu membawa kedamaian dan kebaikan lho. Umat Islam boleh-boleh saja saling mengajak dalam kebaikan, tapi harus diupayakan dengan cara-cara yang paling baik, bukannya saling meremehkan atau malah merisak.
Dan lagipula, jika seandainya hadis tadi adalah benar, paling nggak berlaku buat saya. Wong bapak saya nonmuslim, sudah pasti beda server-nya kan?
Post a Comment