Photo by Ivan Aleksic on Unsplash |
Membaca tulisan Cik Prima di Senin pagi membuat perasaan campur aduk tidak karuan. Apa yang saya rasakan selama ini adalah valid dan fakta baiknya saya tidak sendirian. Mungkin memang benar kata orang bahwa kehidupan orang dewasa itu lebih banyak renungan dan sabarnya.
Sebagai anak pertama, saya merasa sangat relate dengan tulisan tersebut. Di usia 20-an, saya mulai memahami bahwa hubungan orang tua saya ternyata ya tidak baik-baik saja. Sialnya, saya selalu tahu semuanya—entah diberitahukan oleh orang tua atau saya sendiri yang mengetahuinya.
Rasanya semakin dewasa, ada saja masalah keluarga yang mesti dihadapi. Meski orang tua selalu mengatakan "Nggak usah dipikirkan", mau bagaimanapun anak pasti juga kepikiran dong? Apalagi menjadi anak pertama, rasanya seolah-olah dituntut untuk bisa menyelesaikan dan membereskan semuanya.
Karena masalah-masalah yang bikin kaget tadi, saya jadi mulai menyadari bahwa terlalu lama tinggal bersama orang tua itu ternyata nggak (terlalu) baik untuk kesehatan mental. Hal ini saya rasakan ketika menjadi anak kos di ibukota. Ada momen ketika saya ingin merasa seutuhnya mandiri, bebas tidak diatur oleh siapapun, dan tidak mengetahui apapun yang jadi masalah di keluarga. Tahunya cuma kerja-kerja-kerja agar setiap bulan bisa transfer uang belanja.
Saya tidak menyangkal dianggap sebagai sandwich generation, meski saat ini saya sudah tidak memberikan "jatah" apapun dengan dalih membantu keuangan keluarga. Bukannya saya durhaka atau gimana lho ya, tapi memberikan sesuatu kepada orang tua itu termasuk sedekah—dan sedekah harus dilakukan secara ikhlas kan? Lagipula orientasi saya saat ini adalah menabung dan investasi sebanyak mungkin mengingat saya lah yang akan membiayai masa depan saya sendiri. Termasuk dalam urusan pernikahan (makanya saya iri sama mereka yang bisa menikah dan dibayari oleh orang tua hiks).
Ada lho orang tua yang suka memaksa dan meminta uang anaknya, meski mereka masih mampu untuk membiayai kehidupannya. Alasannya, memberikan uang dianggap sebagai bentuk bakti kepada orang tua. Yang lebih parah adalah sebagai "bayaran" karena sudah dirawat dan diberikan pendidikan selama ini. Saya sih nggak setuju. Bukan karena anak nggak minta dilahirkan, tapi memiliki anak adalah murni keputusan orang tua. Jadi, mau tidak mau, orang tua punya tanggung jawab untuk membesarkan, merawat, menjaga, dan mendidik anaknya.
Anak bukan aset investasi yang bisa dikuras dan dikeruk setelah ia dewasa. Anak itu ya tanggung jawab yang harus dipikul seumur hidup. Bahkan setelah anak menikah pun, orang tua tetap memiliki tanggung jawab terhadapnya. Jangan dikira ketika anak sudah menikah, bebanmu sebagai orang tua lantas hilang entah ke mana.
Lhawong ketika anak sudah menikah saja, ada orang tua yang masih asyik nggondheli (nempel) anaknya terus. Biasanya sih, ini tipe orang tua yang gagal mengatur keuangan, sehingga semua beban finansialnya dialihkan kepada anak. Tidak heran jika fenomena sandwich generation muncul di mana-mana.
Seperti yang dibilang Cik Prima, usia dewasa memaksa kita untuk melihat kenyataan bahwa orang tua bisa jadi beban anak juga. Utamanya karena masalah keuangan. Namun dalam hal ini, jujur, saya merasa privilege dan bersyukur karena orang tua saya tidak terlilit utang. Saya tidak punya tanggungan apa-apa.
Saya juga memiliki keleluasaan untuk tidak selalu memberikan sebagian gaji saya kepada orang tua. Terlebih setelah mama saya berkata, "Lebih baik ditabung saja untuk masa depan". Saya jadi semakin mengamini bahwa memberikan sesuatu ke orang tua itu harus didasarkan pada keikhlasan, bukan keterpaksaan. Sederhananya, kalau ada kelebihan rezeki ya nggak apa-apa sesekali ngasih orang tua. Tapi kalau kebetulan nggak ngasih, ya nggak apa-apa juga dong!
Namun, tentu saja yang saya alami tidak dirasakan oleh sebagian orang. Boro-boro menabung, bisa menghidupi diri sendiri saja sudah alhamdulillah. Dulu saya pikir, anak yang kelewat manja sehingga segala sesuatu selalu bergantung pada orang tuanya adalah beban. Namun, setelah dewasa saya mengerti bahwa orang tua pun bisa jadi beban bagi anak.
Ada perasaan sedih, tidak nyaman, dan berempati setelah membaca replies di cuitan HRDBacot yang ngeri-ngeri sedap. Anak seolah-olah dipaksa dan mau tidak mau menanggung beban utang orang tuanya. Gaji selalu habis meski hidup sudah diirit-irit. Tidak ada sisa untuk diri sendiri. Pahit memang, tapi ini kenyataan yang mesti dihadapi oleh sebagian anak.
Kenyataan tersebut juga menjawab kenapa banyak orang seusia saya a.k.a milenial mudah stres bahkan depresi. Lha beban hidupnya saja sudah bertambah berkali-kali lipatnya. Bekerja sekeras apapun, nyatanya gaji tetap saja tidak cukup karena masih harus menanggung beban keluarga. Yang bikin makin berat adalah ketika ia menjadi anak pertama yang dituntut harus berada di garda depan.
Wow. Membayangkannya saja sudah bikin dada terasa sesak.
Saya jadi semakin merasa "Gini banget ya kehidupan orang dewasa?". Rasanya jadi agak menyesal kenapa dulu ingin cepat-cepat dewasa, sementara saat ini justru ingin balik ke masa kanak-kanak. Yang taunya cuma main dan masalah terbesar hanyalah tidak bisa mengerjakan PR.
Post a Comment