Photo by Annie Spratt on Unsplash |
Akhir-akhir ini rasanya semakin sering terpapar konten investasi. Di satu sisi, saya merasa senang karena konten-konten tersebut memberikan edukasi dan manfaat bagi pengalaman investasi saya. Namun di sisi lainnya, saya agak jengkel juga karena orang-orang mulai sok tahu dengan produk investasi. Apalagi semenjak muncul fenomena pom pom, investasi malah jadi stigma negatif di mata masyarakat.
Padahal tidak semua orang memulai investasi dengan sembarangan atau karena ingin ikutan hype doang. Ada yang memang dari sononya sudah mengerti arti dan maksud investasi, sehingga mengamalkan ilmunya sendiri. Namun, ada juga yang betulan belajar investasi dari nol demi sebuah tujuan finansial.
Apapun latar belakangnya, tujuan investasinya tetap sama, yaitu memperoleh dana lebih dari keuntungan di masa depan untuk mencapai tujuan tertentu.
Saya sendiri termasuk golongan orang-orang yang memulai investasi dari nol. Meski saya sudah terbiasa menabung sejak memiliki gaji pertama, nyatanya saya menyadari bahwa hanya menabung saja tidak cukup. Ditambah lagi, bunga di bank konvensional ternyata keciiiiiiiiil banget tapi biaya administrasinya kok jalan terus tiap bulan. Huh!
Setelah lulus kuliah, saya pernah berniat untuk membuka tabungan berjangka di salah satu bank konvensional yang saya miliki. Niatnya sih, agar saya bisa rutin menabung tiap bulan dan hasil tabungan tersebut baru bisa diambil ketika sudah jatuh tempo. Namun sebagai orang awam yang sama sekali tidak punya basic financial management, alih-alih membuka rekening tabungan berjangka, saya malah terjebak dengan rayuan mbak-mbak CS tentang investasi berkedok asuransi.
Awalnya saya masih ngotot ingin membuka tabungan berjangka, tetapi akhirnya luluh juga. Berkat iming-iming keuntungan maksimal plus fasilitas asuransi kesehatan, saya merelakan uang Rp 500ribu yang kena autodebit setiap bulan. Dulu uang segitu nggak terlalu kerasa bagi saya mengingat saat itu saya baru saja diterima kerja dengan gaji di atas UMR Jakarta.
Masalah finansial datang ketika saya memutuskan kembali bekerja di Jogja. Tentu saja saya tidak akan bercerita betapa menyebalkannya memiliki gaji berstandar UMR Jogja, sehingga saya harus pintar-pintar mengatur pengeluaran. Jujur, dihantui dengan autodebit Rp 500ribu per bulan itu sungguh tidak mengenakkan. Rasanya kaya berutang padahal kan lagi menabung!
Saya merasa tidak mendapatkan apa-apa dari investasi yang ditawarkan oleh bank tersebut. Ditambah lagi, saya juga tidak bisa melihat performance review unit yang diperjualbelikan oleh mereka secara berkala. Laporan jual belinya saja hanya dikirimkan ke email saya sebulan sekali. Kadang-kadang juga tidak dikirimkan, sehingga saya tidak tahu persis berapa keuntungan yang telah saya dapatkan. Tahunya cuma bayar, bayar, dan bayar.
Saya jadi penasaran. Sebetulnya apa sih produk yang saya beli? Kenapa saya harus rutin top up tiap bulan? Berapa keuntungan yang sudah saya dapatkan? Bagaimana caranya mencairkan dananya?
Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja mengganggu isi kepala saya. Perasaan-perasaan takut ditipu juga muncul setelah membaca review dari beberapa nasabah(meski akhirnya saya menyangkal karena yang mengeluarkan produknya adalah salah satu bank BUMN). Namun setelah mencari tahu ke sana sini, mempertimbangkan ini itu, akhirnya saya memutuskan untuk tidak lagi menggunakan produk tersebut. Setelah 8 bulan rutin autodebit Rp 500ribu, saya memutuskan berhenti dan mendapatkan kurang lebih 70% dari total nominal yang saya kumpulkan.
Rugi sih, tapi setidaknya saya lega karena tidak dihantui autodebit tiap bulan.
Karena pengalaman tidak menyenangkan itulah, saya mulai mempelajari produk investasi yang lain. Kebetulan juga, tahun 2019 reksadana sedang ramai diperbincangkan. Saya pun mulai menggali banyak informasi tentangnya.
Di situlah awal mula saya mulai mengenal Bareksa, platform jual beli produk keuangan yang masih setia saya pakai sampai sekarang. Tidak hanya tampilannya yang mudah dipahami, Bareksa juga memiliki banyak sekali produk keuangan, mulai dari reksadana, emas hingga SBN.
Sekarang sih pakai Bareksa udah nyaman banget karena fitur-fiturnya makin canggih. Apalagi pembelian reksadana juga tidak harus pakai transfer bank, melainkan bisa dengan e-money OVO. Mudah, cepat pula!
Oh, tenang, tenang. Tulisan ini bukan hasil endorse kok!
Setelah beberapa bulan mencoba menanamkan model melalui reksadana, saya pun jadi tertarik untuk berinvestasi saham. Apalagi sejak terpapar konten @ngertisaham dan YouTube Felicia Tjiasaka, saya memberanikan diri membuat rekening dana saham dan mulai membeli 1-2 lot tiap bulan. Prinsip saya, sedikit nggak apa-apa, yang penting konsisten.
Beberapa teman sering sekali bertanya, memangnya saya nggak takut ya beli saham? Kalau rugi gimana? Jawaban saya sih simpel saja, "Selama saham yang dibeli adalah saham perusahaan bluechip dan niatnya untuk menabung jangka panjang, percaya aja pasti nanti akan balik dan untung lagi,".
Pada intinya, berinvestasi itu memang bukan untuk gaya-gayaan, melainkan untuk mencapai tujuan keuangan tertentu. Karena toh nggak selamanya kita hanya mengandalkan menabung di bank konvensional mengingat laju inflasi di Indonesia selalu naik tiap tahunnya.
Pilih lah produk investasi yang paling nyaman buat diri sendiri. Semisal kamu lebih nyaman berinvestasi dengan reksadana, ya sudah pakai itu saja. Tidak perlu ikut-ikutan FOMO hanya karena orang lain lagi hobi pamer dan berisik ngomongin saham. Kalau kamu masih ingin belajar menabung dengan deposito, silakan juga. Tidak masalah, karena setiap keputusan pasti didasari oleh tujuan tertentu—toh tiap orang pasti punya tujuan yang berbeda-beda bukan?
Dan yang paling penting adalah jangan pernah berinvestasi memakai uang panas atau uang hasil berutang. It's a BIG NO!
Post a Comment