Photo by Colin Maynard on Unsplash |
Berawal dari cuitan akun official masjid raya yang ada di Jawa Barat, wacana childfree menjadi semakin sering diperbincangkan. Sebetulnya bagus juga karena saya jadi bisa memahami berbagai sudut pandang, baik dari mereka yang menginginkan kelahiran seorang anak atau mereka yang secara sadar tidak menginginkan kehadiran seorang anak. Apapun alasannya, saya pikir tiap orang sudah cukup dewasa untuk membuat keputusan dan saya sangat menghargainya.
Namun sayangnya, narasi pro dan kontra tentang childfree ini lama-lama bikin saya jengah juga. Masalahnya, nggak sedikit orang yang merasa bahwa pilihannya—terlepas dari mempunyai anak atau tidak—itu paling benar. Seolah-olah yang memiliki keputusan berbeda dan berseberangan dengan prinsip dianggap sebagai sebuah kesalahan. Lantas, diolok-olok pula.
Untuk itu, melalui tulisan ini, saya hendak mengutarakan pendapat saya mengenai narasi-narasi "pembelaan" yang sering muncul jika kita sedang membicarakan topik childfree.
#1 Kehadiran Anak Bisa Menjadi "Investasi" di Masa Tua
Meskipun saya tidak menyetujui pendapat ini, tetapi banyak sekali orang tua yang masih menjadikan anak sebagai "investasi" di masa tua. Sepengetahuan saya, investasi itu lebih sering dikonotasikan dengan uang atau materi. Apabila anak dianggap sebagai investasi, maka suatu saat orang tua tersebut pasti akan berharap mendapat keuntungan finansial dari anaknya. Pemikiran-pemikiran inilah yang mengakibatkan munculnya fenomena sandwich generation. Anak menjadi terbebani secara finansial karena orang tuanya tidak memiliki back up plan di masa tua dan hanya mengandalkannya saja.
Saya juga tidak setuju dengan pandangan yang menganggap bahwa "anak harus membalas budi" kepada orang tuanya. Merawat, menjaga, menyekolahkan hingga memberikan jaminan hidup yang baik adalah tugas dan kewajiban orang tua. Orang tua tidak seharusnya mengharap balasan atas kebaikannya. Apalagi sampai melabelinya sebagai anak yang durhaka hanya karena sang anak tidak seperti yang diharapkannya.
Menurut saya, orang tua dengan pola pikir seperti inilah sangat egois karena membuat anak jadi tertekan dan terbebani.
#2 Anak yang Salih Bisa Menjadi "Penolong" Orang Tuanya di Akhirat
Ada sebuah hadis yang mengatakan bawah doa anak salih akan menjadi sumber pahala ketika orang tuanya telah tiada. Rasulullah SAW juga pernah bersabda, “Apabila anak Adam telah mati, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang selalu mendoakannya.” (HR. Muslim).
Namun sayangnya, hadis ini sering disalahartikan oleh sebagian orang. Mendidik dan mengajarkan hal-hal baik kepada anak memang tugas orang tua, tetapi mengharapkan pahala dari anak justru malah menjadikan hal tersebut pamrih dan tidak tulus. Rasanya nggak elok saja ketika kita melakukan hal-hal baik hanya karena mengharapkan balasan dari anak.
Pun sejatinya, memiliki anak atau tidak, seharusnya setiap manusia bisa berbuat baik semata-mata karena Tuhan saja. Toh, ada banyak sumber pahala yang bisa dicari dan dilakukan, tanpa harus melibatkan dan mengharapkannya dari orang lain.
#3 Tujuan Pernikahan Adalah Memiliki Anak
Sebetulnya tidak salah juga beranggapan bahwa salah satu tujuan dari pernikahan adalah memiliki anak. Namun, perlu dipahami bahwa tujuan utama dalam pernikahan adalah untuk mendapatkan rasa tentram dan saling berkasih sayang. Terlepas apakah pasangan tersebut mempunyai anak atau tidak, tetapi setiap pasangan pasti punya pendapat dan pilihan masing-masing untuk mewujudkan dua tujuan tersebut.
Walaupun pandangan ini tidak salah, tetapi seringkali orang-orang mewajibkan pasangan yang sudah menikah untuk memiliki anak. Pernikahan tidak akan lengkap apabila tidak ada kehadiran anak. Pandangan ini menafikan fakta bahwa ada orang-orang yang kebetulan ingin memiliki anak, tetapi tidak bisa karena beberapa kondisi, misalnya masalah kesehatan.
Padahal pernikahan dalam Islam memiliki hukum yang berbeda-beda karena menyesuaikan dengan konteks dan kondisi masing-masing orang. Bisa jadi sunah jika kita memang sudah mampu, tapi bisa jadi makruh dan haram jika malah mendekatkan kita pada keburukan. Hukum pernikahan saja tidak mutlak dan tidak wajib, masa iya memiliki anak ketika sudah menikah dijadikan kewajiban?
#4 Memilih Tidak Punya Anak Sama dengan Kesepian
Well, sebetulnya saya bingung juga kenapa tidak memiliki pasangan dan tidak memiliki anak saat sudah menikah dianggap kesepian. Dengan atau tanpa anak, seharusnya kita tetap bisa menciptakan kebahagiaan kita sendiri. Betul, memang ada beberapa pasangan yang memutuskan untuk tidak memiliki anak, tetapi apakah mereka juga lantas akan kesepian? Bagaimana jika ternyata mereka malah rutin menyantuni anak yatim piatu?
Apakah pasangan yang tidak bisa memiliki anak karena beberapa kondisi juga akan kesepian? Saya pikir, kok terlalu naif kalau menganggap iya. Entah memiliki anak atau tidak, setiap pasangan pasti punya cara tersendiri untuk saling mengisi dan mewarnai hari sehingga tidak merasa kesepian. Melabeli pasangan yang tidak memiliki anak sebagai orang yang kesepian adalah asumsi ngawur dan tidak bertanggung jawab.
Lagian, kita tahu apa sih soal hidup orang lain?
#5 Tidak Punya Anak Karena Dunia Sudah Overpopulasi
Sebelum saya menulis ini, saya sempat membaca cuitan dari seorang public figure yang mengatakan bahwa alasan tidak memiliki anak karena dunia sudah overpopulasi tidak ada ubahnya seperti Nazi. Wow, serem juga ya. Seolah-olah yang memilih untuk childfree karena alasan ini sedang berusaha untuk memusnahkan umat manusia.
Bagi saya, tidak ada salahnya juga ketika orang memilih childfree karena ia takut akan menambah beban populasi. Dalam Surah An-Annisa ayat 9, juga pernah dijelaskan tentang adanya larangan untuk meninggalkan keturunan yang lemah—dan hal ini sejalan dengan kekhawatiran orang-orang yang memutuskan untuk childfree. Apabila kita memaksakan untuk memiliki keturunan yang mendekatkan dia pada keburukan, seperti misalnya lingkungan yang rusak, maka kita jadi "berdosa" karena mengabaikan keselamatan mereka.
Namun perlu dipahami, jangan sampai pandangan ini justru menyalahkan orang-orang miskin, yang tidak punya akses edukasi memadai tentang kontrasepsi sehingga mereka jadi memiliki banyak anak. Saya percaya, sumber daya akan tetap ada meskipun beberapa tahun belakangan dinyatakan menipis karena keserakahan manusia. Jadi, yang perlu disalahkan tentu saja manusia-manusia kaya nan serakah ini karena merekalah yang punya kuasa untuk menciptakan sistem eksploitatif dan tidak adil bagi sebagian orang.
Sejujurnya, saya tidak terlalu peduli pada kehidupan orang lain, terlebih yang menyangkut pada sebuah pilihan. Menurut saya, memiliki anak atau tidak itu murni pilihan masing-masing dan sudah pasti sesuai dengan kesepakatan bersama dengan pasangannya. Sayangnya, beberapa dari kita, kerapkali merasa tersinggung atau "tersakiti" apabila ada orang yang memiliki pilihan dan opini yang berseberangan dengan kepercayaan kita. Padahal apa urusannya dengan kita? Toh, kita juga tidak ada andil atau kontribusi apapun dengan kehidupan mereka.
Jadi, ya sudah lah ya. Hargai saja.
Post a Comment