Photo by Karolina Grabowska from Pexels |
Hari ini saya merasa kehilangan. Seorang teman dekat saya di kantor officially and finally resign. Sebagai seorang teman yang baik, saya mendukung dan menghargai keputusannya. Sebab, bagaimanapun juga, resign merupakan keputusan besar dan pasti sudah dipertimbangkan dengan matang. Namun sebagai partner kerja, tentu saya sedih. Selain tidak ada teman mengobrol lagi, saya jadi kehilangan sosok yang mampu memahami curahan hati seorang karyawan seperti saya.
Oleh sebab itu, melalui tulisan ini, saya hendak menyampaikan segala isi hati saya yang berhubungan dengan resign. Tulisan ini tidak bermaksud untuk menyindir atau menyudutkan pihak-pihak tertentu. Murni hanya karena saya galau aja ditinggal teman resign.
Resign Itu Biasa, tapi...
Sebagai seseorang yang gemar berpindah tempat kerja alias kutu loncat, saya memang cukup terbiasa dengan orang yang datang maupun pergi. Meski awalnya terasa menyedihkan, tapi lama-lama ya sudah, biasa saja. Dalam dunia kerja, wajar jika ada karyawan yang mengundurkan diri. Bisa jadi karena ada tawaran lebih menarik di tempat lain, pilihan hidup seperti pulang kampung atau mengikuti pasangan, sudah tidak cocok dengan atasan atau mungkin karena sudah tidak satu visi dan misi lagi dengan perusahaan.
Kalau ada karyawan yang resign ya nggak perlu diintimidasi seolah-olah dia hendak membocorkan rahasia perusahaan. Lebih-lebih kalau resign-nya karena dapet offering di tempat lain. Setiap orang berhak memilih meskipun pilihan itu adalah resign.
Pun nggak perlu diromantisasi pula bahwa resign adalah sebuah perbuatan heroik karena berani keluar dari zona nyaman. Apalagi kalau sudah bawa-bawa jargon "mending jadi pengusaha daripada karyawan". Perlu diingat bahwa nggak semua orang ingin jadi pengusaha. Jadi, nggak perlu lah ya saling berolok-olok begitu. Rezeki kan nggak hanya datang dari berbisnis dan berjualan saja. Ew.
Hanya saja, resign ini bisa jadi catatan dan peringatan penting apabila turn over atau perputaran karyawan itu tinggi, yang biasanya ditandai dengan banyaknya orang yang mengundurkan diri secara berturut-turut dalam satu waktu. Bukannya mau judgemental atau gimana-gimana ya bestie, tapi masa sih perusahaan anteng-anteng aja kalau banyak karyawannya yang resign? Saya aja kalo mendadak dijauhi teman tanpa alasan pasti overthinking dan bertanya-tanya "Apakah saya ada salah?".
Baik yang Meninggalkan atau Ditinggalkan Sama-sama Sedih
Satu hal yang paling saya tidak suka dari resign adalah rasa kehilangan yang menyertainya. Jujur saja, meski saya sudah berkali-kali menghadapi orang-orang yang datang maupun pergi, tapi nyatanya saya masih tetap sedih dan kehilangan. Terlebih jika orang-orang yang pergi ini punya hubungan personal yang cukup dekat dengan saya.
Pertama kali saya mengalami kehilangan di tempat kerja adalah ketika manager di kantor pertama saya resign. Hal itu, ia ungkapkan ketika sedang meeting mingguan bersama di luar kantor. Saya merasa sedih sekali mengingat manager ini adalah orang yang baik, ramah, mau mengajari dan mengayomi, dan sama sekali tidak pernah marah apalagi menegur terang-terangan di depan publik. Rasa kehilangan itu terasa semakin nyata ketika beberapa minggu setelahnya posisinya digantikan orang lain. Masih orang lama sih, tapi tetap saja feel-nya berbeda kan?
Lain waktu, giliran saya yang menjadi pelaku resign-nya. Rasanya tetap sedih juga. Sebulat apapun keputusan yang telah dibuat, meninggalkan orang-orang yang sudah dianggap sebagai teman dan rekan kerja juga tetap ingin menangis. Lebih-lebih jika punya hubungan personal yang cukup baik dengan mereka.
Jika saya boleh menggunakan berlaku bijak sejenak, maka pepatah yang tepat adalah life must go on but this feeling never go wrong.
Resign Adalah Keputusan Berat
Kadang-kadang saya nggak habis pikir saja dengan orang-orang yang memutuskan resign tanpa pertimbangan matang. I mean, asal resign gitu lho, misalnya hanya karena bosan atau karena emosi sesaat. Kalau karena lingkungan toxic sih, saya masih bisa mengerti ya. Tidak semua orang punya ketahanan mental yang cukup baik ketika menghadapi orang-orang dan lingkungan yang toxic. Kalau memang sudah nggak tahan, resign bisa jadi satu-satunya jalan keluar.
Bagi saya, resign itu keputusan besar. Harus benar-benar dipikirkan secara matang dan sebisa mungkin tidak mengedepankan emosi belaka. Beberapa orang yang saya kenal, ketika mereka resign, mereka betul-betul sudah mempertimbangkan banyak hak seperti: dana darurat, pekerjaan pengganti, rencana ke depan, dan sebagainya. Serius deh, resign tanpa rencana itu rasanya kaya kena lay off. Tanpa persiapan apa-apa dan tidak punya plan B. Ya kalau setelah itu bisa dapet penggantinya, kalau enggak, mau bertahan sampai kapan?
Oleh sebab itu, menurut saya, resign memang bukan perkara main-main apalagi sekadar bercanda. Dengan menyadari bahwa ingin resign saja, kita juga harus bersikap rasional: Apakah ini keputusan bulat atau hanya sesaat? Apakah sudah ada darurat? Bagaimana rencana ke depan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin bisa jadi pertimbangan bagi kamu yang sedang merencanakan untuk resign.
Rasanya ingin menutup tulisan ini dengan kata-kata bijak seperti hidup itu selalu penuh dengan orang-orang yang datang dan juga pergi, tapi rasanya kok jadi fafifu wasweswos. Hahaha. Yaudalaya. Saya hanya berharap semoga siapapun yang berencana hendak resign dimudahkan segalanya ya.
Post a Comment